ANALISIS PAJAK

Proyeksi Kinerja Penerimaan Pajak Tahun 2021

Sabtu, 02 Januari 2021 | 07:18 WIB
Proyeksi Kinerja Penerimaan Pajak Tahun 2021
,

MEMASUKI tahun baru 2021, terdapat secercah optimisme di tengah masyarakat terhadap perbaikan kinerja ekonomi. Meski begitu, perbaikan kinerja pajak tampaknya masih harus realistis. Pemerintah pun tidak muluk-muluk menetapkan target pajak 2021, yaitu ‘hanya’ naik 2,5% dari target 2020.

Lantas, sudah cukup realistiskah target tersebut? Bagaimana upaya memaksimalkan kinerja pajak 2021? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita melihat kilas balik kinerja pajak 2020 terlebih dahulu.

Kilas balik 2020
PADA 2020, berbagai tantangan eksternal seperti perang dagang dan perlambatan ekonomi global mengakibatkan tekanan bagi sektor pajak. Pertama, global supply chain terganggu yang berimbas pada sektor-sektor yang berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak, khususnya industri pengolahan.

Kedua, terjadinya pelemahan kinerja perdagangan dan konsumsi yang mengakibatkan penurunan kinerja penerimaan PPN. Ketiga, harga komoditas yang menurun menyebabkan pelemahan kinerja dari PNBP SDA dan kinerja perusahaan di sektor komoditas.

Wabah Covid-19 pada awal 2020 makin memperparah kinerja penerimaan pajak. Perlambatan ekonomi global yang tengah terjadi dihantam oleh kebijakan penerapan lockdown dan pembatasan aktivitas lainnya di berbagai negara guna memutus penyebaran Covid-19. Pasar keuangan global bergerak dengan volatilitas yang tinggi.

Dampaknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tiga kuartal pertama 2020 merosot tajam pada angka 3,0%, -5,3%, dan -3,5%. Penurunan ini utamanya berasal dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menurun drastis selama tiga kuartal berturut-turut yakni sebesar 2,8%, -6,5%, dan -4,0%.

Beberapa kalangan menilai titik terendah kinerja ekonomi sudah terlewati pada kuartal III/2020. IMF, World Bank, dan OECD juga telah merilis proyeksi ekonomi Indonesia 2020 yang relatif lebih baik dan sejalan dengan pemerintah.

Selain itu, rata-rata Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia untuk kuartal III/2020 yang masih lebih baik ketimbang kondisi kuartal II/2020 mengindikasikan adanya perbaikan aktivitas ekonomi nasional.

Meski demikian, tanda-tanda perbaikan perekonomian nasional belum diimbangi oleh kinerja penerimaan pajak, terutama untuk beberapa sektor yang menjadi penyumbang terbesar penerimaan pajak.

Kontribusi pajak dari sektor industri pengolahan pada kuartal ketiga 2020 mengalami kontraksi hingga mencapai -17,2%, diikuti oleh perdagangan (-18,4%), jasa keuangan & asuransi (-5,5%), konstruksi & real estat (-19,6%), pertambangan (-42,8%), dan transportasi & pergudangan (-11,9%).

Alhasil, hingga kuartal ketiga, mayoritas kinerja penerimaan per jenis pajak mengalami pertumbuhan yoy negatif yang lebih terkontraksi. Adapun kinerja jenis pajak yang paling terpuruk di antaranya PPh Pasal 25/29 Badan (-30,4%), PPh Pasal 22 Impor (-41,9%), dan PPN dalam negeri (-9,4%).

Lambatnya respons pemulihan pajak dapat dilihat pada Gambar 1. Ketika ekonomi melemah, kinerja pajak secara elastis merespons dengan pelemahan yang lebih tinggi. Namun, ketika terdapat sinyal pemulihan, pelemahan kinerja pajak masih berlangsung.

Tren tersebut merupakan hal yang lazim. Berbagai negara di dunia juga cenderung menunjukkan kinerja pajak relatif tidak elastis ketika ekonomi mulai pulih (Lagravanise et al, 2020).


Proyeksi 2021
MENIMBANG berbagai faktor dan dinamika tersebut, agaknya terlalu cepat bagi kita untuk mengharapkan perbaikan penerimaan pajak pada tahun 2021. Dalam memprediksi bagaimana kinerja pajak 2021, tidak cukup hanya memperhitungkan tren penerimaan pajak dan berbagai faktor yang memengaruhi. Dinamika ekonomi beserta kemungkinan anomalinya perlu diperhitungkan (IMF, 2020). Sebab, sangat mungkin asumsi yang melandasi proyeksi berbeda dengan realisasi sepanjang tahun sehingga ruang fleksibilitas perlu dijaga.

DDTC Fiscal Research memproyeksikan penerimaan pajak 2021 dengan antara Rp1.119,9 triliun (skenario pesimis) hingga Rp1.211,5 (skenario optimis). Rentang nilai tersebut setara dengan 91,1%-98,5% terhadap target APBN 2021 yang sebesar Rp1.229,6 triliun.

Sama seperti tahun- tahun sebelumnya, target penerimaan pajak di tahun 2021 tampaknya akan sulit tercapai dikarenakan berbagai kepastian yang berpotensi menimbulkan masalah baru di kemudian hari.


Terdapat dua skenario yang menjadi panduan hasil prediksi tersebut. Pertama, skenario pesimistis dengan mengasumsikan adanya stagnansi recovery dari pandemi terjadi pada awal tahun.

Kedua, skenario optimistis cenderung memposisikan ekonomi nasional yang ‘cepat pulih’ sehingga kinerja penerimaan pajak turut membaik hingga penghujung tahun. Meski begitu, perlu dicatat, tidak ada yang mengetahui pasti bagaimana kinerja ekonomi tahun 2021 berjalan.

Terlepas dari kedua skenario tersebut, upaya menjaga basis pajak agar tidak hilang perlu dijadikan agenda utama. Sebab, sebagaimana ditekankan Roth dan Ettenson (2009), mempertahankan wajib pajak yang ada lebih mudah ketimbang menambah wajib pajak baru.

Memaksakan pertumbuhan kinerja pajak secara drastis berisiko membahayakan aktivitas ekonomi yang berimbas kembali pada kondisi fiskal. Meski begitu, terdapat beberapa pendekatan yang dapat berdampak positif terhadap kinerja pajak 2021 tanpa membahayakan kesinambungan fiskal jangka panjang.

Pertama, melanjutkan perluasan basis pajak. Opsi ini dapat menjadi langkah efektif untuk meredistribusi beban pajak sehingga mengurangi ketergantungan terhadap basis pajak yang sudah ada (OECD, 2018).

Sebagai contoh, pemerintah sudah mengambil langkah seperti pemungutan PPN ekonomi digital dan ekstensifikasi jumlah wajib pajak. Selanjutnya, penyesuaian cakupan barang dan jasa yang dibebaskan PPN berdasarkan perilaku konsumsi masyarakat juga dapat dipertimbangkan (Simon dan Harding, 2020).

Kedua, memprioritaskan optimalisasi penerimaan pajak yang tidak mendistorsi pemulihan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kinerja jenis pajak yang masih positif atau relatif cepat merespons pemulihan ekonomi (Brondolo, 2009).

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak PPh Pasal 25/29 orang pribadi menjadi satu-satunya yang masih tumbuh positif per November 2020. Jenis pajak yang umumnya berasal dari penduduk berpenghasilan tinggi ini dapat menjadi sumber tambahan penerimaan pajak baru secara adil (Allison, 2020).

Ketiga, melanjutkan perumusan berbagai aturan pelaksana UU Cipta Kerja di bidang pajak. Meskipun bersifat relaksasi, langkah ini tetap memiliki berdampak positif pada kinerja pajak dengan menciptakan kepastian hukum dan mendorong kepatuhan sukarela.

Keempat, merumuskan insentif pajak secara selektif dan temporer. Seperti diketahui, sebagian besar insentif pajak dalam rangka penanganan dampak Covid-19 telah usai Desember 2020. Pada 2021, insentif pajak tetap diperlukan, tetapi dengan bentuk dan skema yang berbeda.

Selain itu, hal terpenting lainnya adalah insentif pajak perlu diterapkan dengan paradigma relaksasi-partisipasi serta diprioritaskan pada sektor tertentu yang paling terdampak sesuai dengan kebutuhannya (Darussalam, 2020).

Kelima, meneruskan transformasi digitalisasi administrasi pajak. Urgensi tersebut kian penting karena pelayanan ‘tambahan’ terhadap wajib pajak makin diperlukan seiring dengan terbatasnya layanan tatap muka (Akitoby et al, 2019).

Pada intinya, agenda reformasi pajak tetap perlu dilanjutkan. Namun, hal tersebut perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian dengan upaya merangkul seluruh wajib pajak untuk bangkit bersama. Sebagai penutup, selamat tahun pajak baru 2021!

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN