SEWINDU DDTCNEWS
EKONOMI DIGITAL

Potensi Pajak Tak Dibayar Facebook, Google, dan Microsoft Capai Rp41 T

Muhamad Wildan
Kamis, 29 Oktober 2020 | 10.00 WIB
Potensi Pajak Tak Dibayar Facebook, Google, dan Microsoft Capai Rp41 T

Ilustrasi. Logo  Facebook, Google, dan Microsoft.

JOHANNESBURG, DDTCNews – Hasil penelitian Action Aid International menunjukkan total potensi pajak yang tidak dibayarkan oleh Facebook, Google, dan Microsoft kepada 20 negara berkembang diproyeksikan mencapai US$2,8 miliar (Rp41,15 triliun).

Secara lebih terperinci, India, Indonesia, Brazil, Nigeria, dan Bangladesh menjadi negara yang kehilangan potensi pajak paling besar dari ketiga perusahaan digital multinasional ini. Padahal, potensi penerimaan pajak tersebut sangat dibutuhkan untuk mendanai penanganan pandemi Covid-19.

"Dana sebesar US$2,8 miliar tersebut cukup untuk membiayai 729.010 perawat, 770.649 bidan, atau 879.899 guru sekolah dasar," tulis Action Aid International, dikutip pada Rabu (26/10/2020).

Menurut Action Aid International, sebanyak 20 negara yang diteliti, termasuk Indonesia, membutuhkan 1,79 juta perawat pada 2030 untuk mencapai standar ideal 40 perawat per 10.000 penduduk.

Kekurangan jumlah perawat di 20 negara tersebut, lanjut Action Aid International, bisa dipenuhi dalam waktu 3 tahun jika Google, Facebook, dan Microsoft membayar pajak kepada otoritas pajak tempat penghasilan tersebut diperoleh.

Juru Bicara Pajak Internasional Action Aid International David Archer mengatakan tax gap senilai US$2,8 miliar tersebut hanya sebagian kecil dari praktik penghindaran pajak yang marak dilakukan oleh korporasi multinasional.

CEO Tax Justice Network Alex Cobham mengatakan sejak 2013, G20 sudah meminta kepada Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk menciptakan reformasi perpajakan internasional. Adapun reformasi itu memungkinkan pemajakan yang adil.

"Wacana reformasi tersebut sudah bergulir sejak 8 tahun lalu dan penelitian Action Aid International menunjukkan reformasi tersebut tidak tercapai hingga saat ini," ujar Cobham.

Akibatnya, negara-negara yang kekurangan dana untuk membiayai pelayanan publik tidak mampu menarik pajak dari excess profit yang diperoleh perusahaan digital selama pandemi. Sementara itu, usaha kecil dipaksa untuk tutup akibat pandemi.

Pajak minimum global yang diusung OECD pada Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) sangat dibutuhkan untuk menyokong penerimaan negara-negara berkembang. Namun, OECD masih belum mampu mendorong negara-negara anggota Inclusive Framework untuk mencapai kesepakatan. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.