ISTILAH tindak pidana sejatinya merupakan terjemahan dari istilah strafbaar feit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda, Wetboek van Strafrecht (WvS). Adapun WvS telah diadopsi di Indonesia melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi, dan sebagainya); kriminal. Selanjutnya, tindak pidana artikan sebagai perbuatan pidana (perbuatan kejahatan).
Pada umumnya, hukum atas tindak pidana diatur dalam KUHP. Namun, atas tindak pidana di bidang perpajakan berlaku ketentuan lex specialis derogat legi generalis, yakni ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.
Oleh karena itu, ketentuan tindak pidana perpajakan diatur khusus dalam undang-undang pada bidang perpajakan. Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) secara khusus memuat ketentuan pidana pada Bab VIII.
Kemudian, terdapat juga ketentuan pidana perpajakan yang diatur dalam hukum pajak material. Ketentuan itu termuat dalam UU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), UU Bea Meterai, dan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
Namun demikian, definisi tindak pidana perpajakan justru tidak disebutkan secara gamblang dalam sejumlah undang-undang tersebut. Definisi tindak pidana justru dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 33 ayat (3) UU 25/2007 tentang Penanaman Modal. Berikut bunyinya:
Yang dimaksud dengan “tindak pidana perpajakan” adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan.
Dalam aturan teknis terkait dengan pajak, pemerintah memberikan definisi tindak pidana perpajakan. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 239/2014 s.t.d.d PMK 18/2021. Berikut bunyinya:
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah perbuatan yang diancam sanksi pidana oleh undang-undang di bidang perpajakan yang meliputi Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 Undang-Undang KUP, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang PBB, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Bea Meterai, dan Pasal 41A Undang-Undang PPSP.
Ketentuan tindak pidana perpajakan, baik yang diatur dalam UU KUP maupun undang-undang lainnya, mencakup berbagai macam bentuk. Tidak semua pelanggaran hukum perpajakan termasuk dalam perbuatan yang diancamkan pidana.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada laman resmi Ditjen Pajak, teridentifikasi setidaknya ada 4 unsur dalam tindak pidana perpajakan. Pertama, subjek. Dalam tindak pidana perpajakan harus terdapat pelaku.
Kedua, perbuatan. Adapun perbuatan tindak pidana perpajakan merupakan perilaku yang bersifat melawan hukum perpajakan. Ketiga, akibat. Atas tindakan pidana yang dilarang dalam undang-undang perpajakan akan berakibat timbulnya kerugian pada pendapatan negara.
Keempat, kesalahan. Bentuk kesalahan yang dilakukan sebagai syarat dijatuhkannya sebuah pidana. Dalam undang-undang perpajakan, kesalahan terbagi berdasarkan pada mens rea atau niat dari pelaku. Terdapat 2 bentuk yang diatur, yakni berupa kealpaan dan kesengajaan.
Ketentuan terkait dengan tindak pidana di bidang perpajakan juga mengatur tentang pengenaan sanksinya. Unsur kesalahan menentukan jenis dan tingkatan sanksi tersebut. Sebab, sanksi yang dikenakan dalam setiap pasal akan menyesuaikan dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan.
Dalam laporan bertajuk Fighting Tax Crime – The Ten Global Principles, Second Edition, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan setiap negara atau yurisdiksi bisa mempunyai pendekatan yang berbeda dalam mengelompokkan pelanggaran sebagai tax crime.
Misalnya, negara atau yurisdiksi dapat menetapkan ambang batas pengelompokkan tax crime mulai dari tindakan ketidakpatuhan. Tindakan yang dimaksud seperti dengan sengaja tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar.
Negara atau yurisdiksi lain dapat menerapkan hukum pidana mulai dari ambang batas yang lebih tinggi. Misalnya, kesengajaan tidak memenuhi kewajiban dengan faktor-faktor yang memberatkan, seperti pelanggaran berulang serta pemalsuan bukti atau catatan.
Selain itu, ada pula negara atau yurisdiksi yang telah menetapkan ambang batas sangat tinggi untuk mengklasifikasikan tax crime. Ambang batas itu misalnya berupa kejahatan terorganisasi untuk keuntungan atau penggelapan pajak (tax evasion) disertai keadaan yang memberatkan.
Pada dasarnya, ketentuan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan diatur dengan tujuan menciptakan kepatuhan wajib pajak. Penegakan hukum (law enforcement) dibutuhkan dalam sistem pemungutan pajak self assessment, yakni wajib pajak secara mandiri menghitung, menyetorkan, serta melaporkan pajak terutangnya.
Pada kelas seri selanjutnya akan diulas mengenai detail ketentuan pidana perpajakan yang telah masuk dalam definisi sesuai dengan PMK 239/2014 s.t.d.d PMK 18/2021. Ikuti terus Kelas Tindak Pidana Perpajakan di sini. (Fauzara/kaw)