
PADA Nota Keuangan 2026, pemerintah menetapkan target penerimaan perpajakan senilai Rp2.692 triliun. Angka ini naik 12,8% jika dibandingkan dengan outlook 2025.
Kenaikan penerimaan pajak ini cukup signifikan di tengah kondisi ekonomi yang tumbuh di angka sekitar 5%. Karenanya, perlu dijaga keseimbangan antara pencapaian penerimaan pajak dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kedua hal ini harus berjalan seiring dan saling menguatkan.
Secara umum terdapat 3 faktor yang terkait langsung dengan penerimaan pajak, yaitu tarif pajak, basis pajak, dan tingkat kepatuhan.
Tarif pajak yang tinggi tidak serta merta menghasilkan penerimaan pajak yang tinggi. Hal ini dijelaskan dalam kerangka Laffer Curve yang menyatakan bahwa terdapat titik optimal tarif pajak. Tarif yang terlalu rendah membuat pajak yang dipungut menjadi sedikit. Sebaliknya, tarif yang terlalu tinggi juga berpotensi memunculkan penghindaran pajak atau malah mendorong berkurangnya aktivitas ekonomi.
Sementara itu, terkait dengan basis pajak, dalam konteks pajak penghasilan (PPh) misalnya, basis pajak mencakup jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek pajak. Namun, peraturan juga menetapkan beberapa jenis penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan pajak.
Pengecualian tersebut tentu dibuat dengan pertimbangan tertentu, sehingga tidak serta-merta dapat dijadikan objek pajak sebagai upaya menambah penerimaan.
Tingkat kepatuhan merupakan salah satu faktor yang dapat dioptimalkan untuk meningkatkan penerimaan dengan mengutilisasi regulasi yang ada. Hal ini sejalan dengan kajian World Bank (2022) yang menyatakan bahwa peningkatan penerimaan pajak yang berkelanjutan dapat tercapai apabila disertai dengan tingkat kepatuhan yang tinggi.
Kepatuhan tersebut dibangun melalui kombinasi penegakan hukum (law enforcement), pemberian kemudahan (facilitation), dan peningkatan kepercayaan wajib pajak (trust). Melalui upaya ini diharapkan dapat tercipta keseimbangan penerimaan pajak dengan pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini, trust bukanlah hasil akhir dari proses enforcement dan facilitation, melainkan pilar yang harus dibangun bersamaan. Tanpa trust, enforcement akan dipandang sebagai tindakan sewenang-wenang, begitu juga facilitation pun dapat kehilangan makna apabila tidak dijalankan dengan tepat.
Trust terbentuk dari 2 hal utama. Pertama, keadilan sistem pajak. Rasa keadilan muncul ketika wajib pajak memahami hak dan kewajibannya serta diperlakukan setara. Hal ini juga menuntut adanya distribusi beban pajak yang adil, baik dalam kelompok pendapatan yang sama (horizontal) maupun yang berbeda (vertikal).
Kedua, trust tumbuh dari manfaat nyata dari pajak (reciprocity). Wajib pajak akan patuh apabila merasakan kualitas layanan publik yang baik, pembangunan infrastruktur, serta adanya transparansi dan akuntabilitas anggaran. Dalam konteks ini, pajak tidak hanya dipandang sebagai beban, melainkan sebagai kontribusi untuk kesejahteraan bersama.
Transformasi digital membuka peluang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Ekonomi digital yang mencakup segala aktivitas ekonomi yang didukung teknologi digital, misalnya e-commerce, telah mengubah model transaksi dari konvensional menjadi elektronik.
Hasilnya pun terlihat signifikan. Laporan e-Conomy SEA 2024 mencatat bahwa nilai ekonomi digital Indonesia dalam satuan Gross Merchandise Value (GMV) mencapai US$90 miliar, tertinggi di Asean. Lalu bagaimana dengan peluang pencapaian penerimaan pajaknya?
Digitalisasi membuka ruang bagi upaya optimalisasi pengumpulan pajak. Dalam pembentukan trust, digitalisasi berperan memperkuat keadilan setidaknya melalui 3 hal.
Pertama, meningkatkan efektivitas enforcement. Keadilan dapat dicapai pada kondisi wajib pajak yang melakukan pelanggaran diberikan tindakan yang proporsional sesuai tingkat ketidakpatuhan. Mempertimbangkan keterbatasan sumber daya, kegiatan enforcement dapat dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat risiko wajib pajak.
Digitalisasi mendorong tersedianya data dalam jumlah yang banyak dan lebih akurat. Hal ini memungkinkan untuk memetakan risiko wajib pajak dengan tepat. Hasilnya, tindakan enforcement seperti pemeriksaan pajak dapat diterapkan atas wajib pajak dengan tingkat risiko tinggi, sedangkan bagi wajib pajak risiko rendah dapat diberikan layanan dan edukasi.
Hal tersebut memungkinkan sumber daya teralokasi dengan efektif dan adanya perlakuan proporsional dan adil terhadap wajib pajak. Untuk memperkuat hal ini diperlukan dukungan dan komitmen bersama seluruh lembaga pemerintahan dan pihak terkait, khususnya untuk menyediakan data yang diperlukan.
Kedua, memberikan kemudahan bagi wajib pajak. Digitalisasi memungkinkan otoritas perpajakan untuk menyediakan tools yang memberikan kemudahan dan transparansi bagi wajib pajak. Contohnya, model compliance by design seperti SPT yang sudah terprepopulasi dari data pihak ketiga membuat wajib pajak lebih mudah melaporkan kewajiban perpajakan.
Hal ini juga memberi kesan otoritas perpajakan memiliki visibilitas atas kegiatan ekonomi wajib pajak. Sejalan dengan Pomeranz (2015) dalam kajiannya menyebutkan penggunaan data pihak ketiga dan sistem pemotongan (withholding) berdampak signifikan terhadap kepatuhan.
Ketiga, memperkuat basis pajak efektif (effective tax base). Digitalisasi memungkinkan pergeseran aktivitas ekonomi ke sektor formal. Beberapa aktivitas ekonomi yang semula dilakukan secara offline kini banyak beralih ke marketplace.
Pemungutan pajak oleh marketplace serta akses data perbankan membuka peluang penerimaan yang lebih besar. Bahkan, transaksi lintas negara pun kini dapat dikenakan pajak, misalnya layanan streaming video atau musik yang dikonsumsi di Indonesia.
Digitalisasi tidak hanya penting dalam aspek penerimaan, tetapi juga dalam belanja negara. Korea Selatan, misalnya, menerapkan D-Brain System yang menyediakan informasi terintegrasi mulai dari perencanaan hingga realisasi anggaran secara real time. Sistem ini memungkinkan partisipasi publik dalam memantau belanja pemerintah, sehingga memperkuat akuntabilitas dan kepercayaan. Praktik serupa dapat diadopsi di Indonesia untuk meningkatkan transparansi dan membangun trust wajib pajak.
Akhirnya, digitalisasi memberi peluang untuk meningkatkan efektivitas enforcement, kemudahan administrasi, serta membangun trust wajib pajak melalui transparansi dan keadilan. Dengan strategi yang tepat, target penerimaan dapat tercapai tanpa menimbulkan distorsi, sekaligus memperkuat fondasi pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.
