
PEREKONOMIAN Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Ketidakpastian ekonomi global, gejolak geopolitik, hingga arah kebijakan pemerintahan baru menekan ruang fiskal pemerintah. Namun, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus berjalan seiring dengan peningkatan penerimaan negara.
Dua hal tersebut kerap kali berseberangan: menaikkan penerimaan bisa berdampak pada daya beli, sedangkan menjaga pertumbuhan berarti menahan pungutan. Dalam konteks itulah, gagasan menggali penerimaan tanpa mendistorsi ekonomi menjadi relevan.
Salah satu upaya yang dapat dipertimbangkan pemerintah untuk menggali penerimaan pajak tanpa mendistorsi ekonomi ialah dengan mengoptimalkan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk kepentingan perpajakan.
Berdasarkan Instruksi Presiden No. 4/2025 tentang DTSEN, sebanyak 18 kementerian/lembaga diinstruksikan untuk mengambil langkah strategis dalam membangun dan mengintegrasikan data sosial-ekonomi nasional.
DTSEN merupakan gabungan dari 3 sumber data utama. Pertama, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Kedua, Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang dikelola oleh Bappenas.
Ketiga, Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang dikelola oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
Integrasi ketiga sumber data tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan akurasi, pemutakhiran, dan interoperabilitas informasi untuk pelaksanaan kebijakan bantuan sosial yang lebih tepat sasaran, sekaligus mempercepat graduasi kemiskinan.
DTSEN mengukur tingkat kemiskinan multidimensi dengan mempertimbangkan aspek pendidikan, kesehatan, standar hidup layak, dan indikator sosial lainnya. DTSEN dikelola oleh Kemensos bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) serta sumber data dari kementerian/lembaga lain.
Selain itu, interoperabilitas data lintas kementerian/lembaga ini juga dapat memitigasi inclusion error atau kesalahan sasaran penerima bantuan sosial yang tidak layak, di mana persoalan ini kerap kali terjadi setiap tahun.
Hasil Pemeriksaan Efektivitas DTKS Tahun Anggaran 2023 hingga Semester I/2024 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan sejumlah inclusion error. Misal, terdapat 5,6 juta penerima bantuan sosial ternyata berpenghasilan diatas upah minimum.
Kemudian, terdapat 1,92 juta penerima bantuan sosial ternyata memiliki kendaraan roda empat atau lebih. Lalu, ada juga 3,41 juta penerima bantuan sosial yang ternyata merupakan pelanggan listrik nonsubsidi (di atas 900 VA).
Jika bantuan sosial tepat sasaran, pemerintah dapat menghemat anggaran sebesar Rp101 triliun hingga Rp127 triliun (DDTC, 2025).
Nah, Ditjen Pajak (DJP) harus dapat memanfaatkan DTSEN ini untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan. Dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai acuan data bantuan sosial, penerimaan perpajakan berpotensi meningkat.
Pertama, DJP dapat memanfaatkan DTSEN untuk mengidentifikasi individu yang telah masuk zona graduasi kemiskinan atau tidak lagi menerima bantuan sosial.
Individu tersebut—khususnya pekerja informal, pelaku UMKM, dan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas—berpotensi menjadi wajib pajak baru. Mereka dapat berkontribusi pada penerimaan negara melalui PPh final atau PPN.
Kedua, DJP dapat menilai kesesuaian antara penghasilan dan aset dengan laporan pajak, sehingga dapat memitigasi praktik penghindaran dan pengelakan pajak. Data kepemilikan rumah, kendaraan, lahan, atau pekerjaan dapat dikaitkan dengan kewajiban perpajakan masing-masing individu.
Ketiga, DTSEN dapat digunakan sebagai alat pendukung pemberian insentif pajak, misalnya untuk menentukan kelayakan penerima subsidi pajak.
Keempat, DJP dapat memberikan surat rekomendasi atau approval kepada instansi lain dalam proses penyaluran bantuan sosial. Dengan demikian, individu yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak lagi berhak menerima bantuan sosial.
Meski begitu, terdapat tantangan dalam menggunakan DTSEN dalam rangka kepentingan perpajakan. Salah satunya ialah pemutakhiran data perlu dilakukan secara berkala dan dinamis melalui verifikasi silang dengan data Dukcapil serta instansi terkait lainnya.
Selain itu, tantangan lainnya yang harus diperhatikan pemerintah ialah kebutuhan partisipasi publik untuk memastikan validitas data. Lalu. pengembangan infrastruktur teknologi juga harus menjamin keamanan dan keandalan data yang dikelola.
Pada gilirannya, DTSEN sesungguhnya dapat memperkuat fungsi redistribusi pajak, di mana pajak dipungut lebih adil dan bantuan sosial diberikan lebih tepat sasaran. Pajak berperan sebagai instrumen pemerataan kesejahteraan melalui pembiayaan jaminan kesehatan, bantuan sosial, serta penyediaan fasilitas publik.
Dengan demikian, DTSEN tidak hanya berfungsi sebagai acuan data perlindungan sosial, tetapi juga sebagai database yang kuat dan objektif lintas kementerian/lembaga. Melalui pemanfaatan DTSEN yang optimal, Indonesia dapat memperkuat fondasi kebijakan fiskal yang inklusif dan berkeadilan menuju visi Indonesia Emas 2045.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.
