LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Menata Ulang Arah Kebijakan Fiskal Hulu Migas Indonesia

Redaksi DDTCNews
Jumat, 31 Oktober 2025 | 18.00 WIB
Menata Ulang Arah Kebijakan Fiskal Hulu Migas Indonesia
Widy Kasmawala,
Jakarta Selatan, DKI Jakarta

SEJAK era booming minyak pada 1970-an, industri migas menjadi penopang utama APBN, baik dari PPh migas maupun PNBP sumber daya alam. Di sisi lain, sektor ini turut menopang ketahanan energi nasional dan dana bagi hasil (DBH) bagi daerah penghasil.

Kendati Indonesia sudah beralih dari eksportir menjadi net importir minyak sejak 2004, peran strategis sektor ini belum tergantikan. Namun, tekanan global terhadap energi fosil dan transisi menuju energi bersih menghadirkan tantangan baru bagi tata kelola fiskal migas.

Reformasi besar dalam pengelolaan hulu migas pun dilakukan. Salah satu langkah penting adalah pergeseran sistem kontrak dari Production Sharing Contract (PSC) berbasis cost recovery ke skema gross split.

Skema gross split dinilai menjanjikan efisiensi dan kepastian penerimaan negara. Namun, di sisi lain, meningkatkan risiko bisnis bagi investor migas, terutama untuk proyek eksplorasi yang padat modal dan berisiko tinggi.

Salah satu risiko yang dimaksud ialah terkait dengan aspek perpajakannya. Dalam skema gross split, sistem perpajakan tidak lagi nail down, tetapi mengikuti prinsip prevailing. Artinya, kontraktor akan tunduk pada ketentuan perpajakan yang berlaku dari waktu ke waktu.

Akibatnya, kontraktor migas harus siap menghadapi perubahan kebijakan pajak sewaktu-waktu, mulai dari tarif, objek pajak, hingga interpretasi fiskus. Padahal, siklus investasi di sektor migas sangat panjang—bisa lebih dari satu dekade dari tahap eksplorasi hingga produksi komersial.

Ketidakpastian ini pun menimbulkan dilema. Di satu sisi, pemerintah berupaya menjaga penerimaan pajak tetap sehat di tengah tekanan defisit. Namun, pendekatan fiskal yang terlalu agresif justru bisa menjadi bumerang: investor mundur, proyek tertunda, dan penerimaan negara ikut menurun.

Koordinasi Fiskal yang Belum Padu

Dalam tata kelola migas, terdapat tiga otoritas kunci: SKK Migas, DJP, dan Kementerian ESDM. Idealnya, ketiganya berjalan selaras. Namun, realitasnya tidak selalu demikian. Sering kali muncul perbedaan tafsir antara kontrak PSC dan regulasi perpajakan nasional.

Misal, biaya yang sudah disetujui SKK Migas sebagai bagian dari cost recovery ternyata tidak diakui DJP sebagai biaya yang deductible. Akibatnya, kontraktor terjebak di antara dua otoritas yang sama-sama berwenang. Sengketa pun tak terhindarkan.

Contoh itu tentu perlu menjadi perhatian. Sebab, fleksibilitas kebijakan, koordinasi lintas lembaga, dan kepastian hukum menjadi 3 prasyarat mutlak agar tata kelola pajak sektor migas lebih stabil dan kredibel.

Dalam konteks PSC gross split, di mana prinsip prevailing menggantikan nail down, risiko fiskal menjadi semakin nyata. Terdapat 5 hal yang menjadi sumber ketidakpastian. Pertama, perubahan kebijakan mendadak tanpa masa transisi memadai.

Bagi kontraktor migas, perubahan ini bisa langsung berdampak pada asumsi fiskal dalam kontrak mereka. Sebab, dalam skema prevailing, ketentuan pajak yang berlaku sewaktu-waktu bisa langsung mengikat kontraktor, meskipun kontrak mereka ditandatangani sebelum aturan tersebut terbit.

Kedua, ketidaksesuaian antara kontrak dan regulasi. Dalam skema gross split, tidak ada klausul eksplisit yang menjamin insentif PPN atau vea masuk, padahal dalam praktiknya kontraktor tetap berharap pada pembebasan pajak tidak langsung selama masa eksplorasi.

Ketidaksesuaian ini membuka ruang grey area yang sangat besar. Dalam kondisi ini, petugas pajak bisa saja menolak perlakuan pajak tertentu yang sebelumnya dianggap wajar sehingga menciptakan beban fiskal tambahan bagi investor.

Ketiga, tumpang tindih dan multitafsir regulasi. Multitafsir kerap kali terjadi pada pajak daerah dan retribusi, terutama dalam proyek migas yang tersebar di berbagai wilayah.

Beberapa pemda mengenakan pajak daerah atau pungutan lain (misalnya retribusi lingkungan) yang sebenarnya tidak diatur dalam kontrak PSC, tetapi tetap dipaksakan oleh otoritas lokal. Hal ini pada gilirannya menambah beban fiskal dan memperparah ketidakpastian investasi.

Keempat, ketidakjelasan implementasi insentif. Pemerintah telah menjanjikan berbagai insentif dalam PP 53/2017 dan PMK 67/2020, Namun, dalam praktiknya, implementasi insentif sering kali lambat, tidak otomatis, atau memerlukan birokrasi berlapis.

Beberapa kontraktor migas bahkan melaporkan bahwa permohonan pembebasan PPN atas peralatan eksplorasi, misalnya, bisa memakan waktu berbulan-bulan dan tetap berakhir ditolak oleh otoritas pajak daerah karena tidak ada pemahaman yang seragam.

Kelima, maraknya sengketa pajak akibat perbedaan tafsir fiskal. Pemeriksaan pajak sering kali menghasilkan koreksi signifikan atas komponen biaya, PPN masukan, atau withholding tax, yang sebelumnya dianggap sah oleh SKK Migas. Alhasil, perbedaan penilaian tersebut masuk ke tahap keberatan, banding, atau bahkan gugatan ke PTUN atau Mahkamah Agung.

Pajak di sektor hulu migas sejatinya bukan semata urusan tarif dan target penerimaan, tetapi tentang membangun kepercayaan dan keberlanjutan. Indonesia memiliki modal besar: cadangan energi yang cukup, posisi strategis, serta sumber daya manusia berpengalaman.

Namun, semua itu perlu dibingkai dalam sistem fiskal yang berorientasi jangka panjang—memberi kepastian kepada investor tanpa mengorbankan kedaulatan fiskal negara.

Ketika regulasi berubah tanpa transisi, insentif tidak pasti, dan koordinasi antar otoritas juga lemah, kepercayaan investor pun terkikis. Dampaknya bukan hanya terhadap pajak tahun berjalan, tetapi juga terhadap masa depan produksi dan ketahanan energi nasional.

Namun, jika pemerintah mampu merancang kerangka perpajakan yang adil, adaptif, dan konsisten, dilema antara keberpihakan fiskal dan daya tarik investasi bukan lagi kutukan abadi. Sebaliknya, hal itu bisa menjadi fondasi kokoh bagi masa depan energi dan fiskal Indonesia yang berdaulat, tangguh, dan seimbang.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.