Ilustrasi.
SISTEM pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia menganut tarif tunggal sebesar 10% atas dasar pengenaan pajak (DPP). Umumnya, DPP dalam PPN merujuk pada harga jual, penggantian, nilai impor dan nilai ekspor. Nilai tersebut adalah nilai sebenarnya atau nilai yang seharusnya.
Dalam praktiknya, terdapat pula istilah tarif efektif. Istilah ini mengacu pada besaran tarif PPN umum sebesar 10% dengan dasar pengenaan pajak (DPP) yang tidak atau kurang dari 100%. Artinya, perhitungan DPP tersebut tidak berdasarkan nilai sebenarnya yang disebut dengan nilai lain atau disingkat DPP nilai lain.
Secara umum, DPP nilai lain diatur dalam Pasal 8A ayat (2) Undang-Undang PPN. Ketentuan lebih detailnya kemudian ditetapkan melaui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan ditujukan untuk transaksi atau penyerahan tertentu. PMK yang dimaksud antara lain PMK No. 121/PMK.03/2015 tentang Perubahan Ketiga atas PMK No.75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Sebagai contoh tarif PPN rokok sebesar 9,1% atas DPP nilai lain yang diatur tersendiri dalam PMK No. 207/PMK.10/2016. Tarif efektif ini pada dasarnya dhitung dari 10% dikali DPP sebesar 91%. Adapun DPP nilai lain rokok adalah harga jual eceran (HJE).
Terdapat beberapa kali perubahan mengenai apa saja jenis transaksi yang menggunakan DPP nilai lain sejak terbitnya PMK 75/2010 hingga PMK 121/2015. Dalam peraturan terakhir, PMK 121/2015, Â ada 11 jenis DPP nilai lain yang digunakan dalam perhitungan PPN sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.
Â
Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan
Dalam PMK No.56/PMK.03/2015Â yang merupakan perubahan kedua dari PMK No.75/PMK.03/2010, terdapat transaksi dengan DPP nilai lain yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan, yaitu terkait:
Ilustrasi Penghitungan PPN dengan DPP Nilai Lain
Sebagai contoh, berdasarkan ketentuan yang telah disebutkan, jasa atas pengiriman paket dikenakan PPN dengan tarif efektif 1%  dan pajak masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa tersebut tidak dapat dikreditkan oleh PKP penjual.
Berbeda dari jenis jasa lainnya yang menggunakan DPP yang berlaku umum, yaitu 100% dari nilai tagihan. DPP jasa pengiriman paket menggunakan niai lain sebesar 10% dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Contoh kasus:Â
CV Maju Ekspress, sebuah perusahaan jasa pengiriman paket yang berlokasi di Jakarta, mendapat order pengiriman barang dari Jakarta menuju ke Surabaya dengan biaya pengiriman Rp3.500.000 dari PT Merdeka. PPN yang terutang atas transaksi ini adalah: 1% x Rp3.500.000Â = Rp35.000.
Mengingat PPN yang terutang adalah 1%, maka jumlah uang yang harus dibayar PT Merdeka kepada CV Maju Ekspress adalah: Rp3.500.000 + Rp35.000 = Rp3.535.000. Adapun atas pajak masukan tersebut dapat dikreditkan oleh PT Merdeka.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa pajak masukan yang berhubungan dengan kegiatan usaha CV Maju Express tidak dapat dikreditkan.