RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh atas bunga pinjaman yang diterima oleh wajib pajak dari pemegang sahamnya.
Dalam perkara ini, wajib pajak menerima pinjaman tanpa bunga dari PT A dan PT B selaku pemegang saham wajib pajak. Pemberian pinjaman dari PT A dan PT B tersebut dilakukan karena wajib pajak terkena imbas dari krisis moneter sehingga menyebabkan kegiatan operasionalnya berhenti. Untuk menutupi biaya kegiatan operasional dalam situasi tersebut, wajib pajak mengandalkan pinjaman dari pemegang sahamnya.
Otoritas pajak berpendapat wajib pajak tidak memenuhi persyaratan untuk memperoleh pinjaman tanpa bunga sebagaimana diatur dalam Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-165/PJ.312/1992. Dengan begitu, pemberian pinjaman tanpa bunga dianggap tidak wajar dan dilakukan dikoreksi.
Sebaliknya, wajib pajak berpendapat pihaknya sudah memenuhi persyaratan untuk memperoleh pinjaman tanpa bunga sebagaimana diatur dalam Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-165/PJ.312/1992.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat atas koreksi DPP PPh Pasal 23 yang berasal dari bunga pinjaman yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak tepat.
Menurut Majelis Hakim Pengadilan Pajak, PT A dan PT B terbukti tidak menerima penghasilan bunga pinjaman dari wajib pajak. PT A dan PT B memberikan pinjaman karena adanya kesulitan keuangan dan kerugian yang dialami oleh wajib pajak. Selain itu, perhitungan bunga pinjaman yang dilakukan otoritas pajak hanya berupa taksiran dan tanpa didukung dengan bukti.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 27714/PP/M.IV/12/2010 tanggal 6 Desember 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 4 April 2011.
Terdapat 2 pokok sengketa dalam perkara ini. Pertama, berkaitan dengan putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU 14/2002).
Kedua, koreksi DPP PPh Pasal 23 yang berasal dari bunga pinjaman senilai Rp4.978.924.700 untuk tahun pajak 2004 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, terdapat 2 pokok sengketa. Pokok sengketa pertama berkaitan dengan putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 88 ayat (1) UU 14/2002.
Sebab, salinan Putusan Pengadilan Pajak No. 27714/PP/M.IV/12/2010 dikirim kepada Pemohon PK lebih dari 30 hari sejak putusan Pengadilan Pajak diucapkan. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak yang dimaksud dapat dinyatakan cacat hukum (juridisch gebrek) dan harus dibatalkan demi hukum.
Selanjutnya, pokok sengketa kedua dalam putusan ini membahas tentang koreksi DPP PPh Pasal 23 atas bunga pinjaman sebesar Rp4.978.924.700. Dalam kasus ini, Termohon PK menerima pinjaman tanpa bunga dari pihak yang yang memiliki hubungan istimewa dengannya, yaitu PT A dan PT B.
Pemohon PK berpendapat pinjaman tanpa bunga yang diterima oleh Termohon PK dari PT A dan PT B merupakan transaksi yang tidak wajar. Umumnya, setiap perusahaan yang memberikan pinjaman kepada pihak lain tentu saja mengharapkan adanya pengembalian (return) berupa imbalan bunga.
Selain itu, Termohon PK juga tidak memenuhi persyaratan untuk memperoleh pinjaman tanpa bunga yang tercantum dalam Surat DJP No. S-165/PJ.312/1992 tentang pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham. Terdapat 4 persyaratan yang harus dipenuhi oleh Termohon PK untuk mendapatkan pinjaman tanpa bunga.
Pertama, pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman dan bukan berasal dari pihak lain. Kedua, modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada Termohon PK telah disetor seluruhnya. Ketiga, pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi. Keempat, Termohon PK sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
Berkaitan dengan persyaratan tersebut, Pemohon PK menyatakan Termohon PK tidak memenuhi persyaratan kedua dan ketiga. Sebab, berdasarkan pada pemeriksaan laporan keuangan Termohon PK, diketahui bahwa pemegang saham baru menyetorkan modal sebanyak 242.270.277 lembar saham dari modal yang seharusnya disetor sebanyak 900.000.000 lembar saham.
Kemudian, berdasarkan pada Surat Kepala KPP Pratama Jakarta Setia Budi Tiga Nomor S-366/WPJ.06/KP.07000/2008 pada Tahun Pajak 2004 dan 2005, PT A dan PT B yang memberikan pinjaman tanpa bunga sedang dalam keadaan merugi.
Selain itu, berdasarkan pada Pasal 18 ayat (3) dan penjelasan UU No. 7 Tahun 1983 s.t.d.d UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, Pemohon PK berwenang untuk menentukan kembali besaran penghasilan, pengurangan, serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak (PKP) Pemohon PK.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Pemohon PK menyatakan koreksi yang dilakukannya sudah benar. Oleh karena itu, pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku (contra legem).
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pernyataan Pemohon PK terhadap pokok sengketa kedua, Sebab, Termohon PK sedang mengalami kesulitan untuk menjalankan kegiatan usaha sebagai imbas dari krisis moneter pada 1998.
Dalam rentang 1998 sampai dengan 2005, kegiatan Termohon PK baik dari sisi investasi maupun operasional bisa dikatakan berhenti atau mati suri. Oleh karena itu, untuk menutupi kegiatan operasional dalam rentang waktu tersebut, Termohon PK mengandalkan pinjaman dari pemegang saham.
Lebih lanjut, Termohon PK juga menyatakan dasar hukum yang digunakan Pemohon PK tidak relevan. Dalam konteks ini, surat DJP No. S-165/PJ.312/1992 dibuat untuk menjawab pertanyaan dari wajib pajak dan hanya berlaku khusus terhadap wajib pajak tersebut. Dengan demikian, ketentuan tersebut tidak dapat menjadi acuan terhadap proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemohon PK.
Selain itu, Termohon PK menyatakan bahwa PT A dan PT B sama sekali tidak mengakui adanya penghasilan bunga pinjaman. Sementara itu, Termohon PK juga tidak membiayakan bunga pinjaman tersebut. Tindakan yang dilakukan Termohon PK dan PT A serta PT B sejalan dengan prinsip taxable dan deductible.
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Termohon PK untuk memotong PPh Pasal 23 atas biaya bunga pinjaman. Termohon PK menyatakan koreksi DPP PPh Pasal 23 yang berasal dari bunga pinjaman senilai Rp4.978.924.700 untuk tahun pajak 2004 tidak benar sehingga harus dibatalkan.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak No. 27714/PP/M.IV/12/2010 yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan permohonan PK mengenai Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27714/PP/M.IV/12/2010 yang tidak memenuhi Pasal 88 ayat (1) UU 14/2002 tidak dapat dibenarkan. Sebab, persoalan mengenai pengiriman salinan putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai jangka waktu tidak dapat membatalkan putusan.
Kedua, alasan-alasan permohonan PK atas koreksi DPP PPh Pasal 23 yang berasal dari bunga pinjaman juga tidak dapat dibenarkan. Menurut Mahkamah Agung, pertimbangan hukum dan Putusan Pengadilan Pajak No. 27714/PP/M.IV/12/2010 yang mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Kemudian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.