KELAS PPN

Sering Dirujuk Pemerintah, Apa Itu C-Efficiency Ratio PPN?

Redaksi DDTCNews
Minggu, 04 Juli 2021 | 10.00 WIB
Sering Dirujuk Pemerintah, Apa Itu C-Efficiency Ratio PPN?

DALAM rapat dengan DPR pada 28 Juni 2021, pemerintah mengajukan agenda reformasi di bidang pajak pertambahan nilai (PPN) melalui revisi UU KUP. Salah satu alasan yang dikemukakan ialah angka c-efficiency ratio yang belum optimal, yakni sebesar 0,6.

Lalu apa yang dimaksud dengan VAT c-efficiency ratio dan bagaimana interpretasinya? Apakah ada alternatif pengukuran lainnya?

C-Efficiency
PADA dasarnya, terdapat kebutuhan untuk mengevaluasi serta mengukur kinerja penerimaan PPN –maupun GST – di suatu negara. Simak pula ‘Apakah PPN dengan GST Berbeda?’.

Tujuan evaluasi dan pengukuran itu untuk meninjau optimal atau tidaknya kebijakan dan administrasi PPN terhadap penerimaan (Ebrill, et al., 2001). Pengukuran kuantitatif sangat berguna sebagai pertimbangan dalam mendesain reformasi pada bidang PPN.

Pengukuran kinerja penerimaan, khususnya PPN, bisa dilakukan melalui berbagai indikator. Mayoritas indikator tersebut menggunakan realisasi penerimaan PPN sebagai angka pembilang serta aktivitas ekonomi yang merefleksikan potensi PPN sebagai penyebut.

Pada awalnya, para akademisi dan pemangku kebijakan menggunakan suatu pengukuran sederhana, yaitu VAT ratio. Indikator ini dihitung secara sederhana, yaitu dengan rumus penerimaan PPN/PDB. Mayoritas buku-buku klasik mengenai PPN dan kebijakan pajak menggunakan VAT ratio sebagai indikator.

Namun, ada beberapa kelemahan dari indikator tersebut. Pertama, jika PDB digunakan sebagai penyebut. Pada dasarnya PDB merupakan akumulasi dari seluruh aktivitas ekonomi, tidak hanya konsumsi yang merupakan objek dari PPN. Oleh karena itu, perhitungannya berpotensi bias.

Kedua, perbandingan antarnegara akan sulit dilakukan karena tiap negara memiliki tarif PPN bervariasi. Sebagai contoh, perbandingan kinerja penerimaan PPN dua negara dengan PDB relatif sama tapi tarif PPN yang berbeda, akan memberikan hasil yang bias. Negara dengan tarif PPN lebih besar akan relatif memiliki kinerja penerimaan PPN yang lebih baik. Singkatnya, tidak apple to apple.

Oleh karena itu, terdapat alternatif pengukuran lainnya. Semisal, VAT efficiency ratio yang dihitung dengan rumus penerimaan PPN/(tarif PPN x PDB). Pengukuran ini dianggap lebih tepat daripada pengukuran VAT ratio karena telah menggunakan variabel tarif PPN (standard rate). Dengan demikian, angka penyebut dianggap telah mempertimbangkan basis pajak yang lebih riil.

Sebagai contoh, Indonesia memiliki PDB Rp15.432 triliun pada 2020. Dengan tarif 10%, potensi basis PPN diproyeksi senilai Rp1.543 triliun. Perhitungan potensi penerimaan PPN berbasis indikator ini juga beberapa kali dipergunakan dalam berbagai diskusi publik.

Pertanyaannya, apakah benar potensi penerimaan PPN adalah sebesar itu? Jawabannya belum tentu. Hal ini dikarenakan sama halnya seperti kritik pada VAT ratio, masih terdapat asumsi seluruh PDB seolah mencerminkan basis atau objek PPN. Itulah alasan munculnya VAT c-efficiency ratio.

Berbeda dengan efficiency ratio, c-efficiency ratio tidak menggunakan seluruh PDB sebagai komponen perhitungan. Akan tetapi, menggunakan komponen konsumsi dalam PDB saja. Rumus yang dipergunakan ialah penerimaan PPN/(tarif PPN x PDB dari sektor konsumsi). Dengan kata lain, indikator ini dirasa lebih tepat untuk menggambarkan potensi penerimaan PPN yang sebenarnya (Keen, 2013).

Selain ketiga indikator di atas, setidaknya ada dua indikator lain. Pertama, VAT gross collection ratio. Dalam hal ini, yang diperhitungkan sebagai basis PPN adalah PDB yang berasal dari konsumsi rumah tangga secara spesifik.

Kedua, VAT gap. Indikator ini dihitung dengan cara mengukur selisih antara potensi dan realisasi penerimaan PPN. Adapun potensi penerimaan PPN berdasarkan pada estimasi dari data statistik ekonomi nasional yang lebih terperinci, seperti survei rumah tangga, tabel IO, dan sebagainya.

Kedua indikator ini dianggap lebih tepat tapi memiliki tantangan dalam pengukurannya. Tantangan tersebut diakibatkan oleh ketersediaan data dan kesulitannya dalam mengestimasi secara presisi. Apalagi, VAT gap juga sangat tergantung dari data penelitian serta model yang dipergunakan.

Tidak mengherankan jika perbandingan kinerja PPN antarnegara sangat jarang menggunakan VAT gross collection ratio dan VAT gap. Studi komparasi justru condong kepada penggunaan c-efficiency ratio (Ueda, 2017). Simpulannya, hingga kini c-efficiency ratio dianggap sebagai indikator yang paling mencerminkan aspek keandalan (reliable) sekaligus feasible.  (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.