MEDIA sosial kian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan peradaban manusia sehari-hari, termasuk di Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat dari jumlah pengguna media sosial di Tanah Air yang telah mencapai 143 juta per Februari 2025 (We Are Social, 2025).
Fakta itu tidak dapat dilepaskan dari makin masifnya modernisasi sebagai pendorong transformasi kegiatan berbasis digital yang dilakukan manusia, termasuk dalam bersosialisasi. Ada pula faktor kemudahan dalam komunikasi, khususnya jarak jauh.
Di sisi lain, masifnya penggunaan media sosial turut memunculkan tantangan, seperti keamanan data dan kesehatan mental. Hingga saat ini, pajak belum mengambil peran sebagai instrumen regulerend untuk menghadapi tantangan atau eksternalitas negatif tersebut.
Topik tentang penanganan eksternalitas negatif media sosial dengan pajak sebagai instrumen regulerend dibahas oleh Alara Efsun Yazıcıoğlu dalam buku berjudul Social Media and Tax Law. Secara khusus, topik ini dibahas dalam bagian Social Media and Pigouvian Taxes.
Penulis menguraikan adanya potensi untuk mengadopsi pigouvian tax dalam menanggulangi sejumlah eksternalitas negatif yang timbul dari penggunaan media sosial. Ada sejumlah aspek yang dapat menjadi pertimbangan negara dalam mengenakan pigouvian tax.
Pertama, kekhawatiran dalam keamanan data nasional. Tingginya tingkat penggunaan media sosial akan secara simultan memberi kewenangan bagi sejumlah perusahaan penyedia platform media sosial untuk mengumpulkan data-data penggunanya.
Berpijak dari pengalaman di Inggris (UK), seperti yang diungkapkan salah satu pejabat pemerintah, ada perusahaan teknologi yang menjual data-data para pengguna ke pihak lain. Perusahaan itu enggan untuk memberikan akses terhadap pemerintah UK atas data-data tersebut.
Kedua, kekhawatiran dari banyaknya kasus misinformasi, disinformasi, dan propaganda. Ada biaya sosial yang harus ditanggung karena misinformasi, disinformasi, dan propaganda. Situasi ini juga akan berisiko mengganggu kestabilan sosial.
Uganda pernah mengenakan pajak yang serupa dengan pajak atas media sosial, yakni over-the-top tax (OTT tax). OTT tax ini diimplementasikan oleh pemerintah Uganda untuk mengendalikan misinformasi, disinformasi, dan propaganda, sekaligus meningkatkan penerimaan.
Pajak atas media sosial itu dikenakan terhadap setiap pemilik ponsel yang mengakses berbagai platform media sosial, seperti Snapchat, Facebook, Whatsapp, Youtube, dan lain sebagainya. Namun, pada 2021, pemerintah Uganda mengakhiri pengenaan OTT tax karena adanya penurunan tingkat penggunaan media sosial dan desakan dari World Bank di tengah pandemi Covid-19.
Ketiga, kemunculan risiko terkait dengan kesehatan mental, khususnya bagi kalangan anak-anak hingga remaja. Risiko ini berangkat dari paparan konten-konten yang tidak sepantasnya dilihat oleh kalangan anak-anak hingga remaja di media sosial.
Negara bagian Amerika Serikat, Utah, menyusun kebijakan yang mewajibkan pengguna berusia di bawah 18 tahun untuk mendapatkan izin terlebih dahulu dari orang tuanya. Kebijakan tersebut dibuat untuk menjaga kesehatan mental anak-anak hingga remaja.
Keempat, kemunculan risiko terkait dengan privasi data individu atau pengguna. Hal ini timbul karena makin masifnya kegiatan saling berbagi informasi pribadinya kepada pengguna media sosial lain dan juga penyedia platform.
Isu privasi sempat muncul dalam kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat yang memanfaatkan data sekitar 87 juta pengguna Facebook di seluruh dunia tanpa izin. Dengan data itu, ada pengiriman pesan kampanye implisit yang pro terhadap salah satu calon presiden.
Pemerintah dapat merumuskan sejumlah intrumen pengatur, baik nonfiskal maupun fiskal. Untuk nonfiskal, sesuai dengan buku ini, ada penguatan kebijakan command and control. Kemudian, perumusan regulasi perizinan penggunaan media sosial, khususnya bagi anak-anak hingga remaja.
Untuk instrumen fiskal, penulis merekomendasikan pengadopsian pigouvian tax atau pajak-pajak lain yang memiliki esensi serupa. Pajak tersebut nantinya akan dikenakan kepada pihak-pihak yang merupakan bagian dari ‘pencemar’, seperti penyedia platform dan pengguna media sosial.
Secara spesifik, terdapat pula konsep marshallian yang dalam buku ini digabungkan dengan konsep pigouvian tax. Penggabungan tersebut kemudian disebut sebagai marshallian-pigouvian tax di dalam buku yang diterbitkan oleh Routledge ini.
Marshallian-pigouvian tax sendiri secara sederhana adalah pengenaan pajak sebagai respons dari kegagalan pasar dan kegagalan penyediaan public goods yang baik. Kegagalan itu terkait dengan keamanan data masyarakat, khususnya atas data-data yang terekam ke dalam platform media sosial.
Terdapat sejumlah manfaat dari pengadopsian marshallian-pigouvian tax. Pertama, pengenaannya dapat mengompensasikan berbagai biaya yang perlu ditanggung pemerintah atas eksternalitas negatif yang timbul. Hal ini dilakukan dengan menginternalisasikan biaya kepada penyedia platform.
Kedua, pengenaannya dapat lebih menjaga keamanan data dari para pengguna. Hal ini dikarenakan perlu ada perizinan secara eksplisit dari pengguna apabila penyedia platform ingin memproses data-data milik pengguna. Dengan demikian, keamanan ekosistem data publik dapat lebih terjamin.
Ketiga, pengenaannya dilakukan terhadap penyedia platform media sosial. Dengan demikian, para pengguna media sosial tidak merasa terbebani karena pajak tidak dikenakan di level mereka. Selain itu, ada potensi perubahan pola penggunaan media sosial jika pajak dikenakan di level pengguna.
Keempat, pengenaan pajak di level penyedia platform juga dapat memitigasi timbulnya gejolak di masyarakat. Namun, situasi berbeda akan muncul jika penyedia platform memutuskan untuk mengalokasikan bagian dari pajak yang ditanggungnya kepada para pengguna.
Terlepas dari hal-hal tersebut, perumusan kebijakan tentu perlu dilakukan secara hati-hati dan tetap memperhatikan kepentingan dari masyarakat. Hal tersebut dikarenakan kebijakan ini berpotensi memicu pro dan kontra, baik dari masyarakat maupun penyedia platform.
Oleh karena itulah, instrumen marshallian-pigouvian tax dinilai lebih efektif jika dijadikan sebagai secondary instrument dalam hal menangani eksternalitas negatif yang timbul akibat penggunaan media sosial.
Sebagai informasi, buku ini juga membahas tentang perpajakan internasional bagi para influencer, transaksi barter digital beserta dengan pengaruhnya terhadap PPN, pengenaan pajak atas penyedia platform, dan pemanfaatan media sosial dalam meningkatkan kepatuhan pajak.
Dalam buku ini, Alara Efsun Yazıcıoğlu mendorong pemerintah untuk dapat segera mengambil langkah dalam mengatasi sejumlah eksternalitas negatif dari penggunaan media sosial. Terlebih, transformasi teknologi informasi digital, termasuk media sosial, makin masif.
Dengan berbagai ulasan terkait dengan langkah yang dapat diambil, buku ini cocok untuk dibaca oleh para perumus kebijakan. Dengan demikian, eksternalitas negatif yang timbul dari media sosial ke depannya dapat lebih terkendalikan.
Di samping itu, buku ini juga cocok untuk mahasiswa dan juga pengembang perangkat lunak aplikasi yang ingin mendalami tentang urgensi keamanan data dari perspektif sosial, psikologis, dan lain sebagainya. Tertarik membaca buku ini? Kunjungi DDTC Library. (Caezar Putra Shidqie)