SENGKETA pajak merupakan hal yang sulit dihindari dalam sistem pajak suatu negara. Umumnya, sengketa pajak terjadi ketika ada pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan.
Hal tersebut memicu perbedaan penghitungan pajak atau perbedaan interpretasi aturan antara wajib pajak dan otoritas pajak sehingga timbul sengketa. Dalam perkembangannya, persoalan sengketa pajak menjadi lebih rumit ketika terjadi penumpukan kasus di Pengadilan Pajak.
Terlebih, perubahan kebijakan pajak yang masif, baik secara global maupun domestik, berpotensi makin menimbulkan sengketa pajak karena dipicu adanya perbedaan interpretasi. Guna mengatasi sengketa pajak yang terjadi, mekanisme penyelesaian sengketa pajak menjadi salah satu elemen penting yang dibutuhkan.
Umumnya, penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui pengadilan dengan mengikuti proses banding dan kemudian peninjauan kembali. Namun, dalam beberapa kasus, pihak yang bersengketa tidak merasa puas atas hasil putusan pengadilan dan/atau kerja dari penasihat hukumnya (Jerosimic, 2010).
Alhasil, para pihak membutuhkan alternatif lain yang lebih menguntungkan dalam penyelesaian sengketa. Alternatif itu di antaranya dengan menempuh kesepakatan melalui alternatif penyelesaian sengketa pajak (alternative dispute resolution). Lantas, apa itu alternative dispute resolution?
Definisi
SECARA ringkas, Garner (2009) dan Mnookin (1998) mendefinisikan alternative dispute resolution (ADR) sebagai suatu prosedur penyelesaian sengketa pajak dengan cara selain litigasi.
Sementara itu, Brown, et al. (1986) menyatakan istilah ADR sering kali digunakan untuk menggambarkan berbagai mekanisme penyelesaian sengketa yang dianggap sebagai alternatif dari proses pengadilan yang secara umum dikenal.
Menurut Brown, istilah ADR dapat merujuk kepada banyak mekanisme, mulai dari negosiasi penyelesaian sengketa yang difasilitasi sebelum para pihak menempuh beberapa proses hukum lainnya hingga sistem arbitrase atau kuasi pengadilan yang terlihat serupa dengan proses ruang sidang.
Perlu dipahami, penerapan ADR tidak boleh dijadikan saluran untuk melonggarkan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku (Thuronyi, 1998). Namun, penerapan ADR dapat menjadi sebuah solusi yang lebih efisien bagi kedua belah pihak yang bersengketa.
Bentuk-Bentuk ADR
BANYAK negara di dunia yang telah mencoba mengembangkan alternatif penyelesaian sengketa pajak sebagai upaya mengurangi derasnya arus perkara yang masuk pengadilan. Bentuk ADR yang paling banyak dikenal adalah arbitrase, mediasi, konsiliasi, konsultasi, dan negosiasi.
Berikut uraian mengenai masing-masing bentuk ADR:
Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu dan pihak lain yang merupakan konsultan, yaitu pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
Tidak seperti model ADR lain yang melibatkan pihak ketiga, proses ADR yang dilakukan melalui negosiasi hanya melibatkan para pihak yang bersengketa. Negosiasi dapat dipahami sebagai upaya penyelesaian sengketa antara dua pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama.
Proses konsiliasi dilaksanakan dengan bantuan pihak ketiga yang disebut dengan konsiliator. Dalam konsiliasi, konsiliator bersifat aktif dan dapat memberikan anjuran langkah-langkah penyelesaian sengketa.
Konsiliator dapat diminta oleh para pihak untuk menyatakan pendapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa dan menyarankan persyaratan penyelesaian yang dirundingkan.
Para pihak juga dapat meminta konsiliator untuk membuat rekomendasi atau temuan yang tidak mengikat atas perselisihan, berdasarkan fakta dan masalah hukum yang terjadi. Ini dilakukan ketika para pihak yang bersengketa tidak dapat mencapai kesepakatan.
Mediasi dilakukan dengan difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral dan/atau oleh ahli yang disebut mediator. Tujuan dari mediasi adalah mencari solusi atas sengketa yang ada sehingga memungkinkan para pihak untuk melanjutkan kerja sama.
Dalam proses mediasi, mediator akan memandu jalannya diskusi antara para pihak yang bersengketa. Mediator akan mendukung para pihak untuk memahami sengketa dan memberikan kesempatan bagi para pihak yang bersengketa untuk menemukan pilihan mereka sendiri sebagai resolusi bersama.
Dalam implementasinya, mediator menguraikan kelebihan dan kekurangan solusi yang ada dan menawarkan pendapat serta rekomendasi. Namun, mediator tidak memiliki kewenangan untuk memaksakan keputusan atau tindakan lainnya kepada para pihak.
Melalui arbitrase, pihak ketiga yang netral—disebut arbiter—berfungsi sebagai hakim yang memutuskan sengketa antara para pihak. Tidak seperti hakim pada pengadilan umum, arbiter biasanya merupakan pihak yang dipilih langsung oleh para pihak.
Pihak yang dipilih sebagai arbiter biasanya memiliki keahlian khusus pada bidang yang berkaitan dengan objek sengketa. Dalam proses arbitrase, hukum acara yang berlaku akan ditetapkan oleh para pihak yang bersengketa.
Selanjutnya, kedua belah pihak yang bersengketa diberikan kesempatan untuk menyajikan bukti dan argumentasi. Adapun putusan dari arbiter bersifat final dan mengikat.
Tulisan ini disadur dari salah satu bab Buku Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Buku setebal 629 halaman ini disusun oleh para periset DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA).
Buku ini disunting langsung oleh Managing Partner DDTC Darussalam, Senior Partner DDTC Danny Septriadi, serta Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji. Simak “Bagaimana Meramu Sistem Perpajakan yang Ideal? Baca Buku Baru DDTC Ini” (rig)