PENERIMAAN negara dari sektor pajak merupakan penerimaan yang paling diharapkan oleh pemerintah. Pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya tentu akan berusaha untuk memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak.
Meskipun demikian, pemungutan pajak harus dilakukan berdasarkan aturan dan kriteria yang jelas serta tidak boleh melebihi kemampuan wajib pajak untuk membayarnya. Pemungutan pajak yang dilakukan secara berlebihan berpotensi dapat melanggar hak milik yang melekat pada wajib pajak.
Topik terkait pemungutan pajak secara berlebih atau tidak wajar tersebut dibahas dalam jurnal yang berjudul 'Prohibition of Confiscatory Taxation in Latin Jurisprudence: A Three-Step Test to Determine when Taxes Violate Property Rights’. Perlu dibahami bahwa Latin Jurisprudence yang dimaksud di atas adalah merujuk pada putusan pengadilan dari negara-negara yang menggunakan bahasa resmi Spanyol, Perancis, dan Portugal.
Jurnal yang ditulis oleh Guzmán RamÃrez ini secara sederhana dan menarik membahas tentang larangan atau pembatasan konstitusional terhadap pemajakan yang berlebih (confiscatory taxation). Menariknya, dalam proses penyusunan jurnal ini, penulis melakukan analisis putusan pengadilan (court rulings) di berbagai negara Latin seperti Eropa, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Berdasarkan analisis putusan tersebut, RamÃrez mengidentifikasi kriteria untuk menilai pemungutan pajak dilakukan secara berlebih atau tidak. Kriteria tersebut tertuang dalam tiga tahap penilaian yang dijabarkan dengan baik pada bagian akhir.
Pada bagian awal, penulis menyebutkan bahwa pengadilan di semua negara Latin telah mengakui bahwa pajak berlebih atau tidak wajar (confiscatory taxation) tidak diperkenankan oleh konstitusi. Pajak yang berlebihan dapat melanggar hak milik yang melekat pada wajib pajak.
Terdapat banyak kritik atau ketidaksetujuan yang dialamatkan kepada konsep larangan atau pembatasan pengenaan pajak berlebih tersebut. Umumnya, kritik atau keberatan berasal dari petugas pajak. Alasannya, konstitusi suatu negara tidak mengatur secara tegas sehubungan dengan larangan tersebut. Pajak juga tidak memiliki efek langsung terhadap harta wajib pajak. Pada akhirnya, larangan pemajakan secara berlebih hanya bersifat abstrak dan subjektif sehingga sulit diimplementasikan.
Dalam tulisannya, penulis menyatakan tidak sepakat dengan alasan ketidaksetujuan di atas. Memang terdapat negara yang tidak mengatur pembatasan untuk mengenakan pajak secara berlebih dalam konstitusinya, tetapi ada pula negara yang sudah mengatur secara tegas dan jelas. Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa konstitusi beberapa negara Latin secara tegas menetapkan larangan untuk mengenakan pajak secara berlebih. Salah satu contohnya dalam konstitusi Paraguay menyebutkan sebagai berikut.
“Equality is the basis of taxation. No taxation system shall have confiscatory effect. Its creation and enforcement shall respond to the tax capacity of the people and general conditions of the economy of the country (section 74.2 of the Constitución Peruana).
Konstitusi Paraguay tersebut menyebutkan bahwa pemungutan pajak harus berdasarkan asas kesetaraan. Sistem pajak tidak boleh memberikan efek yang berlebihan untuk rakyatnya. Pembentukan dan penegakan pajak harus sejalan dengan kapasitas pajak dan kondisi ekonomi negara.
Selain Paraguay, ada pula negara lain yang menyebutkan larangan untuk mengenakan pajak secara berlebihan, antara lain, yaitu Spanyol, Peru, Chili, Brasil, Paraguay, Venezuela, Guatemala, dan Honduras.
Penulis menyebutkan terdapat tiga langkah untuk menentukan status suatu kebijakan pemungutan pajak dapat dinilai berlebihan atau tidak. Pertama, standar kapasitas pajak (tax capacity standard). Standar ini menyatakan bahwa pajak dikenakan terhadap penghasilan wajib pajak yang melebihi jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kapasitas pajak bukanlah aspek sumber daya ekonomi, tetapi potensi yang harus dianggap tepat untuk berkontribusi terhadap penerimaan negara.
Kedua, standar kewajaran (reasonability standard). Standar kesetaraan berkaitan pengenaan pajak yang adil dan wajar. Pajak tidak boleh dipungut ketika akan mengakibatkan menghambat potensi untuk mendapat keuntungan atau pemeliharaan harta wajib pajak. Pajak harus dipungut secara adil dan tidak mempengaruhi esensi atau inti utama dari hak-hak lain yang sama pentingnya bagi individu.
Ketiga, standar proporsionalitas (proportionality standard). Pajak dianggap berlebihan jika melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan. Pemungutan pajak yang melebihi jumlah minimum akan melanggar hak milik sehingga dianggap tidak sesuai amanat konstitusi. Standar kewajaran dan proporsionalitas memiliki keterkaitan. Kedua standar tersebut bertujuan mencegah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam memungut pajak.
Beberapa pihak mungkin tetap skeptis dan mengajukan pertanyaan sampai sebatas apa antara pajak yang berlebihan dan tidak. Pada bagian penutup, RamÃrez pun mengatakan bahwa tidak memungkinkan untuk mengharapkan batasan spesifik dari konstitusi.
Sebab, menurutnya, larangan adalah batasan yang tidak muncul dari dalam sistem pajak. Namun, batasan tersebut akan muncul ketika hak yang dilindungi secara konstitusional terlanggar. Dalam konteks pemungutan pajak, larangan dimaksudkan agar menjaga keseimbangan antara kekuasaan pemerintah yang sah untuk memungut pajak dengan hak wajib pajak.
Secara keseluruhan, jurnal ini mampu menjelaskan isu terkait larangan pemajakan secara berlebih dengan sederhana. Pembahasan yang dikupas secara sistematis membantu pembaca untuk memahami konteks permasalahan yang hendak disampaikan penulis. Buah pemikiran dalam jurnal ini sangat menarik dipelajari lebih lanjut, tidak hanya bagi para pemerhati pajak saja, tetapi juga para praktisi, peneliti hukum, dan tentunya otoritas pajak.