M. Rafi Zafran Emirzon,
TAHUN 2020 menjadi tahun yang berat bagi Indonesia. Target pertumbuhan ekonomi 5% pupus ketika muncul pandemi Covid-19. Kegiatan ekonomi menjadi terhambat kala pembatasan jarak fisik diterapkan pemerintah. Gaya hidup pun berubah 180 derajat dengan istilah ‘new normal’.
Keadaan ini kemudian menjadikan ekonomi terempas, ditandai dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) triwulan III/2020 sebesar minus -3,49% hingga Indonesia masuk ke dalam resesi. Sayangnya, masih belum dapat diketahui kapan situasi ini akan berakhir.
Lemahnya daya beli masyarakat akibat penurunan pendapatan dan produktivitas menjadi faktor utama melemahnya ekonomi selain faktor kesehatan. Untuk menopang itu, pemerintah melakukan relaksasi berbagai kebijakan perpajakan. Akibatnya, penerimaan pajak pun ikut melemah.
Berdasarkan catatan DDTC Fiscal Research, usaha Pemerintah Indonesia dalam relaksasi pajak saat pandemi ini sejalan dengan tren global. Mulai dari kelonggaran administrasi, relaksasi withholding tax, hingga pembebasan pajak atas barang dan jasa tertentu.
Dengan lesunya ekonomi dan berbagai relaksasi itu, penerimaan perpajakan 2020 diperkirakan turun Rp403,1 triliun dari target Rp1.865,7 menjadi Rp1.462,7 triliun. Inilah sebenarnya yang menjadi ‘PR’ pemerintah untuk mengoptimalkan pajak guna mencegah resesi yang berkepanjangan.
Sayang, reformasi birokrasi mungkin tidak dapat berjalan dengan cepat di tengah pandemi ini. Ditambah, perbedaan pandangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam menangani pandemi menjadi sangat krusial di tengah naiknya kurva penyebaran dan test massal.
Alternatif lainnya, pemerintah baik pusat dan daerah perlu menyeimbangkan kebijakan dan regulasi dengan mengesampingkan ego sektoral. Wajib pajak juga perlu mendorong pemangku jabatan untuk saling berkoordinasi dalam melaksanakan kebijakan perpajakan.
Tiga Argumen
ADA sedikitnya tiga argumen agar pemerintah mampu menggenjot penerimaan pajak saat pandemi ini. Pertama, pemerintah pusat dan daerah berkoordinasi memetakan pajak pusat dan daerah, dan memberikan indikator pada setiap daerah yang terkena dampak ekonomi Covid-19.
Daerah yang terdampak ini kemudian diberikan insentif. Sementara itu, daerah yang mendapat indikator baik atau tidak terdampak secara signifikan dapat membayar pajak secara berkala dengan tetap diberi keringanan. Atau, bahasa lainnya adalah pembayaran silang.
Kedua, mendorong pemerintah agar fokus terhadap sektor kesehatan. Hal ini penting karena sumber permasalahan ekonomi adalah pandemi Covid-19 yang menyebar secara tidak terkendali. Jika sumber permasalahan ‘sedikit’ teratasi, perekonomian dapat membaik.
Ketiga, melakukan sosialisasi secara luas kepada masyarakat bahwa pembayaran pajak dapat dilakukan secara online, tidak hanya offline. Tujuannya agar wajib pajak tetap dapat menjalankan kewajibannya sembari menjaga protokol kesehatan.
Ketiga argumen ini memang hanya menjadi ide dasar, karena itu dibutuhkan elaborasi lebih lanjut baik oleh pemerintah pusat sebagai pemangku kebijakan dan pemerintah daerah sebagai pelaksana teknis untuk dapat menjalankan kerja sama tersebut
Namun, jelas tidak menutup kemungkinan ketiga argumen tersebut bisa menjadi solusi atas ‘PR’ Indonesia saat ini, agar terbebas dari hantu resesi. Pada saat yang sama, penerimaan pajak juga dapat lebih dioptimalkan guna menopang perekonomian Indonesia selama pandemi.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.