BELANJA daring telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pola konsumsi masyarakat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai transaksi e-commerce pada 2023 mencapai Rp1.100,87 triliun, naik 40% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pertumbuhan tersebut memang memberikan dampak positif terhadap ekonomi digital. Namun, tren ini juga menimbulkan konsekuensi fiskal dan lingkungan, seperti lonjakan emisi transportasi pengiriman last mile serta akumulasi sampah kemasan.
Apabila tidak ditangani, beban sosial akibat subsidi energi, kemacetan, polusi udara, hingga biaya kesehatan publik akan semakin membengkak. Untuk itu, perlu ada suatu inovasi agar arus barang dari e-commerce tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Lantas, seperti apa urgensinya? Berdasarkan Data World Resources Institute (WRI) Indonesia (2023), sektor transportasi menyumbang sekitar 27% emisi nasional dengan 90% di antaranya berasal dari bahan bakar fosil. Pertumbuhan jumlah kurir dan truk distribusi memperburuk kemacetan dan kualitas udara, terutama di kota-kota besar.
Kemudian, pengiriman tahap terakhir (last mile) ternyata tak efisien secara biaya maupun lingkungan. Menurut laporan Accenture (2020), last mile menyumbang 53% dari total ongkos pengiriman dan 41% dari biaya rantai pasok. Dorongan layanan instan seperti same day delivery menambah tekanan biaya sekaligus memperbesar jejak karbon.
Tak hanya itu, peningkatan nilai transaksi e-commerce juga sejalan dengan lonjakan sampah kemasan. Berdasarkan riset Kementerian Keuangan (2025), belanja daring diperkirakan menghasilkan hingga 4,8 kali lipat limbah kemasan dibandingkan dengan belanja luring.
Dominasi plastik sekali pakai, bubble wrap, dan karton tidak terpilah menciptakan beban sosial berupa biaya pengelolaan sampah, risiko banjir, serta degradasi lingkungan.
Melihat berbagai persoalan tersebut, penulis menawarkan konsep green logistics tax untuk dapat diterapkan di Indonesia. Konsep green logistics tax ini berlandaskan pada 2 pilar utama: insentif dan disinsentif.
Untuk insentif, pemerintah bisa menawarkan superdeduction tax bagi perusahaan yang berinvestasi pada armada listrik dan infrastruktur pengisian, serta mempercepat restitusi PPN bagi pelaku usaha yang menggunakan kemasan ramah lingkungan bersertifikat.
Pada bagian disinsentif, pemerintah bisa mengenakan pungutan mikro antara Rp200 hingga Rp1.000 per paket atas layanan pengiriman instan dan penggunaan kemasan sekali pakai non-daur ulang. Dengan demikian, perilaku logistik boros energi dibuat lebih mahal, sedangkan inovasi hijau makin terjangkau.
Pemungutan mikro di titik checkout bukanlah hal baru. Contoh, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia telah membuktikan kemampuannya untuk menarik PPN secara otomatis dengan basis data transaksi yang lengkap. Mekanisme yang serupa tentu bisa diterapkan pada pungutan Green Logistics Tax.
Dari sisi pengurangan emisi, banyak kota di Eropa dan perusahaan logistik global berhasil menekan jejak karbon melalui konsolidasi rute, pickup point, hingga peralihan penggunaan kendaraan dari konvensional ke listrik.
Indonesia juga memiliki landasan kebijakan yang mendukung kelestarian lingkungan, seperti PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk kendaraan listrik sebagaimana diatur dalam PMK 38/2023 yang diperbarui melalui PMK 12/2025.
Dengan demikian, penambahan insentif fiskal khusus untuk armada logistik bukanlah kebijakan baru, melainkan penyempurnaan sehingga manfaat lingkungan dan fiskal lebih cepat dirasakan.
Selain itu, rencana pengenaan cukai plastik seperti tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 juga dapat diperluas ke kemasan e-commerce sehingga green logistics tax memiliki legitimasi kuat untuk diterapkan.
Kebijakan fiskal yang baik harus berpihak pada kelompok kecil. Karena itu, green logistics tax perlu dilengkapi skema mitigasi. Misal, paket dengan nilai di bawah Rp100.000 dari UMKM mikro dapat dikecualikan, sedangkan barang medis atau bersifat urgensi tidak dikenakan pungutan.
Konsumen juga dapat memperoleh potongan tarif apabila memilih pickup point atau menggunakan kemasan ramah lingkungan. Dengan demikian, beban tidak jatuh pada masyarakat kecil, tetapi tetap mendorong perubahan perilaku menuju logistik hijau.
Green Logistics Tax tidak semata-mata berfungsi sebagai pungutan tambahan, tetapi sebagai salah satu instrumen fiskal strategis dalam rangka menyelaraskan pertumbuhan e-commerce dengan agenda lingkungan nasional.
Dengan desain yang adil, berbasis data, serta berorientasi pada keberlanjutan, konsep green Logistics tax ini berpotensi mengurangi biaya sosial akibat polusi dan limbah, sekaligus membuka tambahan penerimaan negara.
Dengan demikian, pajak hadir sebagai alat transformatif yang tidak hanya menghimpun dana, tetapi juga mengarahkan perilaku ekonomi menuju Indonesia yang lebih hijau, sehat, dan berdaya saing di era digital.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.