PEMBANGUNAN Ibu Kota Nusantara (IKN) bukan sekadar pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Ia adalah simbol harapan baru: kota masa depan yang hijau, modern, dan menjadi magnet pertumbuhan baru di luar Pulau Jawa sebagaimana diamanatkan dalam UU 3/2020 tentang Ibu Kota Negara.
Pemerintah tentu tidak bisa berjalan sendiri untuk mewujudkan mimpi besarnya tersebut. Menurut Otorita IKN, total kebutuhan dana pembangunan IKN mencapai Rp466 triliun. Namun, hanya 20% yang akan disokong oleh APBN. Sisanya, dari investor dalam dan luar negeri.
Pemerintah pun tak main-main dalam menarik minat investor untuk terlibat dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara. Berbagai insentif ditawarkan, mulai dari kemudahan berbisnis hingga keringanan pajak yang kompetitif seperti tax holiday, super tax deduction, dan tax allowance yang diatur dalam PMK 28/2024.
Salah satu insentif yang paling menonjol ialah pembebasan PPh badan (tax holiday). Misal, investor yang menanamkan modal di infrastruktur atau layanan umum di IKN dapat memperoleh tax holiday hingga 100% selama 20 - 30 tahun seperti diatur dalam PP 12/2023.
Masalahnya, skema tax holiday tersebut kini menghadapi tantangan besar dengan munculnya aturan pajak minimum global. Dalam konteks globalisasi dan persaingan antarnegara, strategi memikat investor dengan ‘bebas pajak’ mulai dipertanyakan efektivitas dan keberlanjutannya.
Pilar 2 merupakan bagian dari kerangka reformasi perpajakan internasional yang diusung oleh OECD atau G20 melalui proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0 akan berlaku di Indonesia mulai 2025.
Inti Pilar 2 ialah penerapan tarif pajak minimum global sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan omzet global minimal EUR 750 juta. Aturan ini dituangkan dalam konsep Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE).
Masalah muncul ketika Indonesia memberikan tax holiday yang membuat tarif efektif pajak (effective tax rate/ETR) perusahaan multinasional turun di bawah 15%. Dalam kondisi itu, selisih pajak dapat dipungut oleh negara lain (top-up tax), yaitu negara tempat induk perusahaan berada. Adapun mekanisme ini disebut dengan Income Inclusion Rule (IIR).
Dengan demikian, Indonesia berisiko kehilangan hak pemajakan, dan pada akhirnya tax holiday justru menjadi subsidi untuk negara lain—bukan stimulus ekonomi nasional.
Untuk mencegah hal tersebut, Indonesia dapat menerapkan Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT), yaitu mekanisme yang memungkinkan negara sumber memungut sendiri pajak tambahan (top-up tax) atas entitas domestik sebelum dipungut oleh negara lain.
Dengan QDMTT, Indonesia dapat mempertahankan hak pemajakannya sendiri, alih-alih kehilangan potensi pajak karena dipungut negara tempat induk MNE berada.
Namun, penerapan QDMTT ini hanya bersifat defensif. Kebijakan ini tidak serta-merta menjawab kebutuhan Indonesia untuk tetap kompetitif dalam menarik investasi. Sebab, meskipun hak pemajakan tetap berada di tangan Indonesia, daya tarik insentif fiskal menjadi berkurang.
Alhasil, investor tidak lagi mendapatkan manfaat langsung karena pajak yang dibebaskan di Indonesia akan tetap dipungut oleh negara lain, atau bahkan oleh Indonesia sendiri melalui QDMTT.
Di sinilah muncul opsi kebijakan yang lebih strategis dan kompatibel dengan Pilar 2, yakni Qualified Refundable Tax Credit (QRTC).
QRTC merupakan bentuk insentif pajak berupa kredit pajak yang dapat dikembalikan (refundable) dan diakui sebagai pendapatan (income) dalam perhitungan pajak minimum global di bawah Pilar 2 OECD.
Berbeda dari insentif tradisional seperti tax holiday yang menurunkan tarif efektif pajak dan berisiko terkena top-up tax oleh negara lain, QRTC justru menjaga ETR di atas batas minimum 15% karena dicatat sebagai pendapatan, bukan pengurang pajak.
Jika suatu negara memberikan insentif dalam bentuk QRTC, insentif tersebut tidak menurunkan tarif pajak efektif perusahaan, tetapi meningkatkan pendapatan mereka. Hasilnya, negara tetap memajaki secara optimal dan tidak kehilangan hak pemajakan akibat top-up tax dari negara lain.
Sebaliknya, jika insentif berbentuk non-QRTC maka pajak yang dibayar akan tampak lebih kecil, ETR turun, dan negara lain berhak menarik pajak tambahan. Inilah mengapa bentuk insentif menjadi krusial dalam konteks pajak minimum global.
Menariknya, insentif serupa telah diterapkan oleh Vietnam melalui skema cash grant. Insentif ini merupakan bantuan tunai langsung dari pemerintah yang diatur dalam Decree No. 182/2024 on Investment Support Fund.
Skema tersebut memberikan dukungan hingga 50% dari biaya investasi awal untuk proyek strategis seperti riset dan pengembangan (R&D) semikonduktor, kecerdasan buatan, dan teknologi hijau.
Kebijakan cash grant ini menjadi jawaban untuk tetap kompetitif di era pajak minimum global karena dicatat sebagai pendapatan perusahaan sehingga mampu menjaga ETR tetap tinggi.
Menurut artikel EY yang ditulis oleh Huong Vu, General Director EY Consulting Vietnam, cash grant dianggap lebih efisien secara biaya dan lebih mudah diawasi dibandingkan insentif pajak jangka panjang. Bantuan satu kali (one-time grant) ini dinilai mampu mendorong investasi strategis di sektor teknologi dan keberlanjutan secara lebih efektif.
Dengan desain seperti itu, insentif Vietnam sejalan dengan prinsip Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) yang diusung OECD: memberikan manfaat nyata bagi investor tanpa mengorbankan hak pemajakan negara.
Dengan demikian, QRTC bukan sekadar solusi teknis atas tantangan Pilar 2, melainkan jawaban strategis yang memungkinkan Indonesia tetap kompetitif tanpa kehilangan hak pemajakannya sendiri.
Insentif ini menawarkan win-win solution: investor tetap mendapatkan manfaat nyata dalam bentuk kredit pajak yang dapat diuangkan, sedangkan negara tidak kehilangan potensi penerimaan pajak karena ETR tetap berada di atas ambang batas 15%.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.