WITHHOLDING Tax (WHT) atau pajak yang dipotong/dipungut oleh pihak pemberi penghasilan merupakan mekanisme penting dalam sistem perpajakan Indonesia. Melalui sistem ini, pemerintah dapat mengumpulkan pajak dalam jumlah besar dengan biaya pemungutan yang relatif efisien.
Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul konsekuensi baru: meningkatnya biaya kepatuhan (compliance cost) bagi wajib pajak pemberi penghasilan selaku pemotong.
Padahal, biaya kepatuhan wajib pajak sudah cukup beragam. Mulai dari administrasi pemotongan, pemahaman aturan yang kompleks, edukasi kepada penerima penghasilan, hingga penyesuaian sistem internal perusahaan.
Karena itu, desain sistem WHT seharusnya tidak hanya berorientasi pada target penerimaan, tetapi juga mengedepankan prinsip kepastian (certainty), kemudahan (convenience), keadilan (equity), dan kesederhanaan (simplicity) sebagai pilar utama sistem pajak yang baik (Darussalam dkk, 2024).
Sayangnya, sistem WHT saat ini masih jauh dari prinsip-prinsip tersebut. Kompleksitasnya dapat dirasakan pada banyak aspek: tarif yang berbeda-beda, ragam objek dan sifat pemotongan (final maupun tidak final), serta potensi penafsiran yang berbeda antarwajib pajak.
Tak hanya itu, subjek pemungut pun bahkan tidak seragam. Sekadar informasi, setidaknya saat ini terdapat 6 jenis WHT—PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 15, Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 26—dengan ketentuan dan karakteristik masing-masing.
Belum lagi, prinsip keadilan pun tampak belum sepenuhnya terwujud. Kealpaan pemberi penghasilan dalam memungut WHT bisa menimbulkan penagihan pajak beserta sanksi administrasi. Padahal secara ekonomi, beban pajak seharusnya berada pada penerima penghasilan.
Dari sisi tarif, variasinya juga sangat beragam. Untuk PPh Pasal 22, misalnya, tarif pemungutan atas pembelian kertas adalah 0,1%, semen 0,25%, dan baja 0,3%. Sementara itu, pembelian barang oleh pemungut tertentu bisa dikenakan tarif 1,5%.
PPh Pasal 4 ayat (2) juga tidak kalah rumit: tarifnya majemuk, khususnya untuk pekerjaan konstruksi yang terbagi ke dalam beberapa kategori dengan 5 jenis tarif.
Melihat kompleksitas tersebut, pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan tarif yang seragam untuk seluruh jenis WHT, kecuali PPh Pasal 21. Selain itu, penyelarasan subjek dan objek pajak juga perlu dilakukan. Saat ini, wajib pajak orang pribadi dapat dikenai PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, maupun Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan kondisi tertentu.
Nah, pemerintah dapat menyederhanakan dengan menetapkan, misalnya, penghasilan sewa selain tanah dan bangunan oleh orang pribadi dikenakan PPh Pasal 21. Selain itu, tarif konstruksi pun dapat diseragamkan menjadi satu tarif untuk mempermudah administrasi.
Langkah lain yang penting ialah mengurangi objek pajak yang bersifat final. Idealnya, PPh final hanya dikenakan atas penghasilan yang sulit dilaporkan atau dipantau secara teknis, seperti bunga tabungan atau transaksi saham. Pengenaan pajak final yang berbeda dari tarif umum dapat berdampak negatif terhadap kepatuhan jangka panjang.
Aspek keadilan juga perlu diperhatikan dalam penegakan sanksi. Saat ini, wajib pajak yang lalai melakukan pemotongan bisa dikenakan kewajiban membayar pokok pajak berikut sanksi administrasi. Padahal, secara logika ekonomi, kapasitas membayar pajak sebenarnya berada di tangan penerima penghasilan (Darussalam dkk, 2024).
Untuk itu, sebaiknya sanksi hanya dikenakan dalam bentuk denda ringan, bukan kewajiban membayar pokok pajak. Hal ini akan lebih adil, apalagi mengingat penunjukan pihak pemotong tidak disertai kompensasi apa pun bagi wajib pajak yang ditunjuk (Raissa dkk, 2008).
Transformasi sistem WHT juga harus mempertimbangkan keadilan bagi penerima penghasilan. Tidak jarang terjadi sengketa antara pemberi dan penerima penghasilan akibat perbedaan tafsir terhadap objek pajak atau sifat bukti potong.
Untuk itu, akan lebih adil bila penentuan sifat bukti potong (final atau tidak final) dilakukan oleh penerima penghasilan. Alhasil, kesalahan administrasi dari pihak pemotong tidak akan merugikan pihak lain karena bukti potong tersebut tetap dapat dijadikan kredit pajak.
Pemerintah juga dapat mempertimbangkan penyederhanaan klasifikasi tarif menjadi beberapa golongan saja, misalnya: (1) PPh Pasal 21, (2) PPh dipotong pembeli, (3) PPh dipungut penjual, (4) PPh final, (5) PPh melalui media lain, dan (6) PPh Pasal 26. Dalam menentukan tarif untuk masing-masing golongan, pemerintah dapat mengadopsi konsep Equilibrium Nash pada Game Theory.
Selain itu, pengecualian pemotongan sebaiknya diberikan hanya untuk transaksi yang secara teknis sulit dipotong pajaknya, seperti pembayaran melalui auto debit, kartu kredit, atau transaksi daring. Dengan cara ini, sistem tetap adil sekaligus praktis untuk diterapkan.
Contoh kompleksitas juga terlihat pada transaksi konstruksi yang melibatkan pembelian barang dan jasa secara bersamaan. Ketidaksinkronan antara kontrak, faktur, dan pekerjaan nyata sering kali menimbulkan perbedaan tafsir atas objek pajak, yang berujung pada kesalahan pemotongan. Untuk itu, transformasi sistem WHT yang lebih sederhana dan seragam akan membantu meminimalkan risiko semacam ini.
Akhirnya, reformasi ini diharapkan dapat mengurangi cost kepatuhan, meningkatkan keadilan antarwajib pajak, serta memperbaiki iklim usaha di Indonesia. Dengan sistem yang lebih sederhana dan efisien, Indonesia juga berpotensi memperbaiki skor Ease of Doing Business, yang pada 2024 untuk aspek perpajakan tercatat masih di kisaran 53,57 (DDTCNews, 2024).
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.