BAYANGKAN jika setiap rupiah pajak yang Anda bayarkan tidak hanya masuk ke kas negara, tetapi juga langsung memacu energi bersih, memperbanyak kendaraan listrik, dan mendukung inovasi ramah lingkungan.
Inilah ide besar di balik pajak hijau, yakni instrumen fiskal yang kini menjadi sorotan dunia untuk menekan emisi sekaligus menarik investasi hijau. Indonesia bahkan berjanji di forum COP28 untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 (IESR, 2023).
Komitmen tersebut bukan perkara ringan. Transisi menuju ekonomi rendah karbon membutuhkan pendanaan sekitar US$20 miliar–25 miliar per tahun hingga 2030 untuk membiayai infrastruktur energi terbarukan, transportasi bersih, dan teknologi hijau.
Menurut International Energy Agency (IEA), investasi global di energi bersih telah mencapai US$1,7 triliun pada 2023. Dunia bergerak cepat menuju masa depan hijau. Pertanyaannya, apakah Indonesia siap bersaing?
Di atas kertas, Indonesia telah memiliki sejumlah kebijakan yang mendukung transisi energi, seperti pembebasan PPN untuk kendaraan listrik hingga skema pengurang pajak (superdeduction tax) bagi riset energi terbarukan.
Namun demikian, implementasinya masih belum optimal. Tak sedikit pelaku usaha yang menilai regulasinya rumit, proses administrasinya lambat, dan kepastian hukumnya lemah.
Bayangkan seorang pengusaha yang ingin membangun pabrik panel surya. Insentifnya ada, tetapi prosedurnya berlapis, dokumennya menumpuk, dan keputusan bisa berubah karena perbedaan interpretasi antar-instansi.
Kondisi ini jelas membuat investor ragu. Tak heran jika Indonesia masih tertinggal dari negara lain dalam memanfaatkan pajak hijau sebagai motor pertumbuhan ekonomi.
Masalah lain adalah minimnya skema green tax credit yang mengaitkan insentif pajak secara langsung dengan capaian lingkungan perusahaan. Tanpa instrumen ini, perusahaan tidak memiliki dorongan kuat untuk benar-benar berkomitmen pada target pengurangan emisi.
Belajar dari Negara Lain
Eropa telah lebih dahulu menerapkan green tax credit berbasis emisi, yang memberikan potongan pajak sesuai dengan besarnya pengurangan karbon yang dicapai perusahaan. Skema ini berjalan berdampingan dengan pajak karbon untuk menekan pelaku industri yang tidak mau berbenah.
Jepang memilih strategi berbeda: pajak karbon ringan yang disertai insentif besar untuk riset teknologi bersih. Korea Selatan bahkan mengaitkan pajak hijau dengan kinerja ESG perusahaan dan mengintegrasikannya dengan pasar karbon domestik.
Hasilnya nyata. Investasi mengalir deras ke sektor energi bersih, inovasi teknologi berkembang pesat, dan emisi turun signifikan (Yan et al., 2023). Model seperti ini semestinya dapat juga diadaptasi di Indonesia.
Indonesia sebenarnya tak perlu memulai dari nol. Ada 4 langkah yang dapat dilakukan. Pertama, membentuk green tax credit berbasis capaian terukur seperti pengurangan emisi atau penggunaan energi terbarukan.
Kedua, menghubungkan pajak hijau dengan pasar karbon nasional sehingga perusahaan dapat melihat nilai bisnis dari setiap pengurangan emisi.
Ketiga, melakukan digitalisasi penuh atas administrasi pajak hijau. Dengan pemanfaatan big data dan e-invoice, pemantauan kepatuhan bisa dilakukan secara real time guna menutup celah penyalahgunaan sekaligus memangkas biaya birokrasi.
Keempat, memperluas cakupan insentif ke sektor strategis seperti energi terbarukan, kendaraan listrik, dan industri hijau yang menjadi pilar penting dalam agenda transisi energi.
Jika semua langkah tersebut berjalan, pajak hijau dapat menjadi katalis yang tidak hanya menurunkan emisi, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru serta menciptakan lapangan kerja di sektor hijau.
Bagi penulis, reformasi pajak hijau bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Negara-negara yang lebih dahulu menerapkannya terbukti berhasil menarik investasi besar, menekan emisi, sekaligus menjaga daya saing ekonomi. Indonesia tentu tidak boleh tertinggal.
Pemerintah perlu menyediakan regulasi yang konsisten dan mudah dipahami. Pelaku usaha mesti melihat pajak hijau bukan sebagai beban, melainkan peluang untuk memperkuat bisnis di tengah tren global menuju keberlanjutan.
Tak hanya pelaku usaha, akademisi, media, hingga masyarakat umum juga dapat berperan sebagai pengawas sehingga kebijakan tersebut benar-benar berjalan efektif.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kita perlu pajak hijau atau tidak. Namun, kapan kita mulai berani menjadikannya fondasi kebijakan fiskal masa depan.
Kita sudah memiliki komitmen, sumber daya, dan contoh praktik terbaik dari negara lain. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik dan keberanian untuk mengeksekusinya.
Jika pajak hijau diterapkan dengan tepat, Indonesia bukan hanya dapat mengejar target NZE 2060, tetapi juga memimpin kawasan dalam membangun ekonomi hijau yang tangguh dan kompetitif. Jadi, siapkah kita menjadikan pajak hijau sebagai mesin penggerak masa depan?
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.