LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Strategi Optimalisasi Pajak Orang Kaya Tanpa Menimbulkan Resistensi

Redaksi DDTCNews
Jumat, 19 September 2025 | 15.00 WIB
Strategi Optimalisasi Pajak Orang Kaya Tanpa Menimbulkan Resistensi
Icha Sari Krismonika,
Kota Bandung, Jawa Barat

DI tengah gejolak ekonomi yang belum stabil dan cenderung melemahkan daya beli masyarakat, pemerintah berupaya menjaga penerimaan pajak tetap sehat tanpa membebani masyarakat kecil dan menengah.

Namun, kinerja penerimaan pajak kerap kali belum mampu menembus target yang ditetapkan. Untuk itu, diperlukan kebijakan baru dalam menambah basis pajak tanpa mengorbankan paket stimulus yang ada, yakni dengan mengoptimalkan pajak orang kaya.

Penambahan lapisan tarif progresif pajak penghasilan (PPh) sebesar 35% bagi wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan di atas Rp5 miliar—sebagaimana diatur dalam UU 7/2021—merupakan salah satu terobosan pemerintah dalam mengoptimalkan pajak orang kaya.

Kebijakan itu ditujukan untuk memperluas basis PPh sekaligus mencerminkan asas keadilan dalam pemungutan pajak. Namun, timbul pertanyaan: apakah kebijakan itu cukup untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari kelompok berpenghasilan tinggi?

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kontribusi PPh dari kelompok orang kaya yang dikenai tarif progresif 35% masih jauh lebih kecil ketimbang kontribusi dari kelompok yang dikenai tarif di bawah 35%, terutama karyawan.

Kementerian Keuangan mencatat menunjukkan realisasi penerimaan PPh orang pribadi dengan tarif 35% hanya mencapai Rp18,5 triliun sepanjang Januari-Agustus 2024. Angka ini setara dengan 10% dari total realisasi PPh Pasal 21, 25, dan 29 orang pribadi sebesar Rp187,58 triliun.

Dengan kata lain, 90% penerimaan masih didominasi kelompok karyawan yang dipotong langsung pemberi kerja. Perbedaan mekanisme pemotongan PPh karyawan dengan sistem self-assessment bagi orang kaya menjadi salah satu faktor yang menimbulkan ketimpangan penerimaan.

Namun demikian, menaikkan tarif tinggi bagi orang kaya atau menggagas pajak khusus orang kaya sebagaimana praktik di negara maju tentu bukan pilihan sederhana. Optimalisasi pajak dari orang kaya membutuhkan strategi yang lebih menyeluruh.

Penambahan tarif 35% saja tidak cukup, apalagi mekanisme self-assessment terbukti memiliki keterbatasan. Terlebih lagi, banyak High Net Worth Individual (HNWI) di Indonesia memperoleh penghasilan dari modal, seperti bunga, dividen, royalti, keuntungan penjualan saham, maupun properti, yang sebagian besar masih dikenai PPh final.

Pentingnya Strategi Komunikasi dan Narasi yang Tepat

Penulis lantas menawarkan beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan untuk mengoptimalkan penerimaan dari kelompok kaya. Pertama, penguatan data dan transparansi aset menjadi kunci untuk mempersempit ruang tax avoidance maupun capital flight.

Kedua, strategi komunikasi publik perlu diperkuat agar pajak dipandang bukan sebagai beban, melainkan kontribusi nyata bagi pembangunan. Pemerintah harus mampu menunjukkan hasil nyata dari pemanfaatan penerimaan pajak untuk fasilitas publik.

Kepastian hukum juga menjadi faktor penting. Perlindungan bagi wajib pajak yang sudah patuh dapat mengurangi kekhawatiran akan pemeriksaan berlebihan.

Selain itu, pemerintah dapat menimbang pemberian insentif melalui kredit pajak atas investasi di sektor strategis seperti UMKM, energi hijau, dan pendidikan. Insentif filantropi berupa potongan pajak atas donasi ke sektor pendidikan, kesehatan, maupun kemanusiaan juga bisa menjadi opsi.

Strategi lain adalah pendekatan personal kepada kelompok HNWI sebagai wajib pajak prioritas. Edukasi yang tepat dan narasi khusus dapat membangun kesadaran mereka untuk meninggalkan warisan (legacy) berupa kontribusi besar dalam membangun bangsa.

Jika kepercayaan (trust) dan kesadaran kolektif ini terbentuk, pemerintah berpeluang menaikkan tarif pada objek PPh final yang selama ini banyak terkait dengan orang kaya.

Misal, tarif PPh final atas penjualan saham di BEI yang saat ini 0,1% dari nilai transaksi dapat dinaikkan ke 0,2%-0,3% secara bertahap. Begitu pula tarif PPh atas penjualan properti yang masih 2,5% dapat ditingkatkan menjadi 3%.

Bahkan, wacana pengenaan pajak warisan untuk harta bernilai besar, misalnya di atas Rp20 miliar, bisa dipertimbangkan dengan tarif yang rendah, semisal 1%.

Namun, langkah-langkah tersebut jelas memerlukan tahapan dan strategi komunikasi yang matang. Apabila strategi kecil dilakukan secara konsisten, optimalisasi pajak orang kaya dapat diwujudkan tanpa menimbulkan resistensi. Hal ini juga sejalan dengan asas ability to pay, di mana mereka yang mampu wajib berkontribusi lebih besar demi keadilan dalam sistem perpajakan Indonesia.

Penulis berharap dengan mengoptimalkan pajak orang kaya maka ketimpangan ekonomi dapat diperbaiki. Prinsipnya sama seperti pada penggalan lirik dalam lagu I’d Love To Change The World milik band Ten Years After: "Tax the rich, feed the poor".

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.