LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Reformasi Tata Kelola PBB: Dari Beban Jadi Pilar Pertumbuhan Ekonomi

Redaksi DDTCNews
Rabu, 10 September 2025 | 15.00 WIB
Reformasi Tata Kelola PBB: Dari Beban Jadi Pilar Pertumbuhan Ekonomi
Chatline Theresia, 
Kota Surabaya, Jawa Timur

PADA Agustus 2025, publik dikejutkan oleh demonstrasi warga di Kabupaten Pati yang menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%.

Kasus tersebut bukanlah sekadar soal penolakan masyarakat, melainkan cerminan dilema pemerintah daerah yang ingin menyalakan mesin pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga pendapatan asli daerah (PAD) tetap sehat.

Secara hukum, dasar pemungutan PBB tercantum dalam UU 12/1994 tentang Perubahan atas UU 12/1985. Instrumen utamanya ialah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan setiap tahun oleh pemerintah daerah.

Idealnya, PBB tidak hanya berfungsi sebagai instrumen penerimaan, tetapi juga sebagai instrumen menggerakkan ekonomi. Namun, persoalan muncul ketika penyesuaian NJOP dilakukan secara drastis tanpa mekanisme pembatasan.

Akibatnya, PBB melonjak tajam, masyarakat menolak, penerimaan pajak terganggu, dan praktik di lapangan jauh dari ideal. Penentuan NJOP sering kali tidak transparan, meningkat mendadak tanpa mempertimbangkan kemampuan bayar, sedangkan hasil pemungutan pajak tidak selalu dirasakan kembali oleh masyarakat.

Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah baru yang mampu menyeimbangkan dua tujuan besar, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengoptimalkan penerimaan pajak.

Reformasi Penilaian PBB Berbasis Data dan Teknologi

Selama ini, NJOP ditentukan dengan metode manual yang sering kali tertinggal dari kondisi pasar sehingga menimbulkan kesenjangan besar antara nilai pajak dan kemampuan masyarakat. Untuk itu, perlu ada reformasi penilaian PBB berbasis data dan teknologi.

Salah satu inovasi yang bisa dilakukan pemda ialah dengan mengadopsi digital property valuation system berbasis big data dan citra satelit. Dengan sistem tersebut, pemda dapat menetapkan nilai lebih akurat, transparan, dan minim sengketa.

Praktik itu sudah berjalan efektif di Pereira, Kolombia. Setelah pembaruan sistem, jumlah properti yang terdaftar naik 8% dalam setahun dan penerimaan pajak mampu tumbuh hingga 123% tanpa kenaikan tarif.

Capaian tersebut juga membuktikan bahwa dengan dasar pengenaan yang jelas maka pemilik lahan lebih memahami kewajibannya dan kepatuhan pun meningkat. Hasilnya, penerimaan pajak lebih stabil tanpa harus mengandalkan kenaikan tarif drastis.

Selanjutnya, sistem PBB juga perlu diarahkan agar lebih progresif dan subjektif. Selama ini, PBB sering kali dianggap regresif karena membebani semua pemilik tanah secara sama tanpa melihat skala ekonomi. Padahal, demi mendukung pertumbuhan, pajak seharusnya mempertimbangkan sisi keadilan.

Pemilik lahan luas yang tidak produktif seharusnya dikenai tarif lebih tinggi. Sebaliknya, lahan kecil yang digunakan untuk usaha produktif atau rumah tinggal rakyat kecil dapat memperoleh keringanan dari pemda.

Pola ini sudah diterapkan di Korea Selatan melalui Aggregate Land Tax (ALT) dan Comprehensive Real Estate Holding Tax (CRET). Pajak dikenakan lebih tinggi pada lahan kosong atau properti spekulatif dengan tarif antara 0,2% hingga 5% dari nilai tanah atau properti.

Pendekatan tersebut tidak hanya menjaga penerimaan negara, tetapi juga menumbuhkan investasi produktif, penyerapan tenaga kerja, dan pergerakan ekonomi lokal.

Dalam publikasi berjudul Housing Taxation in OECD Countries, OECD juga menyebut kebijakan semacam ini terbukti mengurangi spekulasi, menekan lonjakan harga tanah di kawasan urban, sekaligus memperkuat penerimaan daerah.

Indonesia pun berpeluang menerapkannya untuk mendorong efisiensi penggunaan lahan, memperluas basis pajak, dan menjaga pertumbuhan ekonomi lokal.

Manfaat Pajak yang Dibayar Harus Terasa

Tidak kalah penting ialah memastikan manfaat PBB kembali kepada masyarakat. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah earmarking parsial, yaitu mengalokasikan sebagian penerimaan PBB untuk pembangunan infrastruktur lokal.

Dengan demikian, warga tidak hanya membayar pajak, tetapi juga merasakan hasilnya dalam bentuk perbaikan jalan desa, fasilitas UMKM, atau ruang publik.

Di Kanada, khususnya Kota Calgary, pemerintah menggunakan skema serupa melalui Community Revitalization Levy (CRL). Dalam 20 tahun terakhir, dana sekitar CAD357 juta telah dialokasikan untuk infrastruktur publik di kawasan East Village dan Rivers District, seperti revitalisasi jalan, taman, plaza, hingga perbaikan utilitas kota.

Skema tersebut dijalankan tanpa menaikkan tarif pajak secara umum, tetapi dengan menahan sebagian kenaikan penerimaan dari zona pengembangan untuk membiayai fasilitas publik.

Pendekatan ini membuat warga melihat manfaat langsung dari pajak yang mereka bayar sehingga kepatuhan sukarela meningkat dan legitimasi fiskal pemerintah menguat.

Jika diterapkan di Indonesia, akan tercipta lingkaran positif: masyarakat membayar pajak, pemerintah membangun fasilitas, ekonomi lokal tumbuh, dan basis pajak semakin luas.

Penulis meyakini ketiga langkah tersebut saling melengkapi dan menjawab dilema yang dihadapi pemerintah. Dari sisi pertumbuhan, insentif pemanfaatan lahan produktif dan alokasi infrastruktur akan menggerakkan sektor riil serta membuka lapangan kerja.

Sementara itu, dari sisi penerimaan, sistem penilaian berbasis teknologi memperluas basis pajak dan memastikan keadilan, sementara tarif progresif meningkatkan kontribusi dari kelompok yang lebih mampu.

Pada saat yang sama, transparansi penggunaan dana akan memperkuat rasa memiliki, meningkatkan kepatuhan, dan menjaga legitimasi fiskal.

Demonstrasi PBB di Pati menjadi pengingat bahwa sistem perpajakan perlu ditata ulang agar tidak hanya mengejar penerimaan, tetapi juga berpihak pada masyarakat.

Harapannya, reformasi tersebut tidak sekadar meredakan ketegangan jangka pendek, tetapi juga bisa menciptakan fondasi baru bagi hubungan pajak dan pertumbuhan ekonomi yang sehat antara negara dan rakyatnya.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.