JAKARTA, DDTCNews - Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menyayangkan ekosistem investasi di Indonesia cenderung mahal karena birokrasi yang rumit, padahal sudah ada keringanan seperti tax holiday untuk membuat investasi lebih menarik.
Menurut Bimo, insentif pajak untuk menggaet investor sesungguhnya sudah digelontorkan pemerintah. Namun demikian, lanjutnya, investor kerap kali menghadapi ekonomi berbiaya tinggi dan kesulitan perizinan usaha.
"Ketika kami mengundang mereka untuk investasi, kondisi ekosistem investasi kita itu masih cukup mahal karena red tape birokrasi. Kita buka-bukaan saja, jadi ekonomi biaya tinggi, perizinan biaya tinggi," katanya, Kamis (11/12/2025).
Lebih lanjut, Bimo menjelaskan pemerintah telah menyuntikkan insentif tax holiday hingga 20 tahun untuk berbagai industri ekstraktif, termasuk hilirisasi mineral kritis seperti nikel.
Insentif ini memacu investor khususnya perusahaan berteknologi tinggi masuk ke Indonesia. Ketika industrinya tumbuh, lanjut Bimo, pemerintah tidak serta merta memungut pajak korporasi atau PPh badan dari pelaku industri tersebut.
"Apakah otoritas pajak bisa kemudian memungut pajak korporasinya? Enggak bisa, karena ada tax holiday dan kita harus hargai itu," tuturnya.
Selain itu, Bimo menilai ongkos produksi dan pemurnian nikel di Indonesia cenderung lebih rendah dibandingkan dengan negara lain yang sama-sama memiliki cadangan nikel yang besar.
"Cost of production, cost of smelting nikel di Indonesia paling the most economical. Tapi apa itu bikin nilai tambahnya bisa optimum di Indonesia? Ini masih question mark, karena hampir semua kawasan industri untuk hilirisasi mineral kritis dan strategis itu dapat tax holiday," ujarnya.
Meski berlimpah kekayaan alam dan komoditas, lanjut Bimo, Indonesia juga memiliki tantangan dari aspek SDM, baik pengusaha itu sendiri ataupun birokrat. Dia melihat masih banyak praktik culas di lapangan yang mempersulit pelaku usaha dan mengganggu iklim investasi.
Untuk mewujudkan tata niaga yang baik, dia menerangkan pemerintah terus melakukan reformasi. Mulai dari memperbaiki tata kelola perizinan, hingga melakukan penindakan terhadap penyelewengan supaya menimbulkan efek jera.
"Di sisi hulu ada Satgas PKH. Sebelum tata kelola diperbaiki, deterrent effect-nya kita ke depankan. Di hulu untuk perusahaan-perusahaan ekstraktif, baik minerba maupun kelapa sawit," jelas Bimo. (rig)
