Rizki Zakariya,
LAHIRNYA Undang-Undang (UU) 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi titik awal pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Hal ini juga menandai peralihan pengelolaan pajak dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah hingga sekarang.
Namun, sekalipun praktik desentralisasi fiskal sudah berjalan lebih dari 2 dekade, kapasitas fiskal daerah belum mampu menopang seluruh kebutuhan pengeluaran daerah secara mandiri. Daerah masih bergantung pada pemerintah pusat untuk menggerakan pembangunan dan belanja.
Sepanjang 2015-2019, dana perimbangan dari pemerintah pusat masih mendominasi struktur pendapatan daerah di Indonesia dengan rata-rata sebesar 58%. Dana perimbangan itu terus meningkat sebesar 6,9% tiap tahun.
Selain itu, tax ratio daerah—perbandingan antara penerimaan pajak dan produk domestik regional bruto (PDRB)—juga sangat rendah. Sepanjang 2015-2019, rata-rata tax ratio seluruh daerah di Indonesia hanya 1,37%. Capaian itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio pajak daerah di negara lain, seperti Swedia 16%, Australia 4,4%, dan Portugal 2,3%.
Rendahnya penerimaan pajak daerah—yang mengakibatkan ketergantungan daerah pada dana perimbangan pemerintah pusat—ditandai dengan belum seriusnya pemda dalam menggali dan menetapkan target pendapatan asli daerah (PAD).
Merujuk pada data BPKP, dari 68 pemda, 43 di antaranya menetapkan target PAD hanya berdasarkan perkiraan, bukan potensi yang sebenarnya. Alhasil, dari potensi sebenarnya Rp790 miliar, yang ditargetkan hanya Rp193 miliar.
Oleh karena itu, intensifikasi pajak dan retribusi daerah perlu dilakukan pemda untuk mengoptimalkan penerimaan daerahnya. Pembentuk undang-undang berupaya mewujudkan itu dengan mengesahkan UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).
UU HKPD diharapkan bisa mendorong pemda lebih mandiri dalam mengelola sumber daya fiskalnya (local taxing power) demi kesejahteraan masyarakat setempat.
Salah satu substansi yang diatur dalam UU HKPD terkait dengan optimalisasi pajak dan retribusi daerah adalah kewenangan daerah dalam memberikan fasilitas insentif dan kemudahan berusaha. Pasal 101 ayat (1) UU HKPD menyebut bahwa gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya, demi mendukung kemudahan berinvestasi.
Insentif tersebut berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya. Adapun pemberian insentif tersebut dapat diajukan melalui permohonan wajib pajak maupun secara jabatan oleh kepala daerah dengan pertimbangan tertentu, serta diberitahukan kepada DPRD.
Hal tersebut merupakan terobosan baru dalam UU HKPD. Perlu diketahui, dalam UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maupun UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, tidak diatur kewenangan kepala daerah tersebut.
Dengan adanya pembaruan melalui UU HKPD, fasilitas fiskal tersebut diharapkan dapat menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Ada pula multiplier effect pada penyerapan tenaga kerja dan aktivitas ekonomi di daerah.
Meski memiliki substansi dan tujuan yang baik, terdapat kekurangan pengaturan mengenai pemberian fasilitas pajak dan retribusi daerah oleh kepala daerah dalam UU HKPD.
Pertama, besarnya diskresi kepala daerah dalam menentukan pemberian fasilitas pajak dan retribusi daerah. Meskipun telah diatur pertimbangan yang menjadi syarat pemberian fasilitas insentif pajak dan retribusi dalam Pasal 101 ayat (3) UU HKPD dan Pasal 99 PP 35/2023, syarat tersebut tergolong umum dan tidak ketat.
Dengan kata lain, masih terbuka ruang penafsiran diskresi kepala daerah dalam penentuan memenuhi atau tidak. Hal ini terjadi pada beberapa perda pajak yang diterbitkan oleh pemerintah daerah sebagai tindak lanjut UU HKPD, seperti Perda Provinsi Jawa Tengah 12/2022 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dan Perda Provinsi Sumatera Selatan 5/2022 tentang Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal.
Kedua, minimnya peran DPRD dalam mengawasi pelaksanaan pemberian fasilitas pajak dan retribusi oleh kepala daerah. Merujuk Pasal 101 ayat (4) UU HKPD, kepala daerah harus memberitahu DPRD dalam pemberian insentif fiskal.
Namun, tidak ada kewenangan DPRD untuk membatalkan atau memeriksa pemberian fasilitas tersebut jika terindikasi tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Padahal, DPRD merupakan organ pengawas anggaran (budgeting) di daerah berdasarkan pada Pasal 365 ayat (1) UU 17/2014 tentang MD3.
Ketiga, tidak diaturnya kewajiban sistem atau mekanisme pemberian fasilitas fiskal secara akuntabel, baik melalui permohonan wajib pajak maupun secara jabatan oleh kepala daerah, baik dalam UU HKPD ataupun Peraturan Pemerintah (PP) 35/2023.
Pasal 100 ayat (3) PP 35/2023 mengatur bahwa ketentuan administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan peraturan kepala daerah. Dengan kata lain, daerah bisa menentukan sendiri mekanisme atau sistem pemberian fasilitas fiskal itu kepada wajib pajak/retribusi.
Ketiga catatan tersebut berpotensi membuka ruang praktik korupsi oleh kepala daerah dalam pemberian fasilitas fiskal. Hal itu didasarkan pada CDMA Theory dari Robert Klitgaard. Sesuai dengan teori tersebut, korupsi terjadi karena adanya diskresi yang besar dan monopoli, tetapi akuntabilitasnya rendah (Zakariya, 2020: 273).
Pada sisi praktik, sudah banyak pejabat kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dengan modus penerbitan izin maupun penerbitan dokumen yang menjadi kewenangannya. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004 hingga Januari 2023, terdapat 155 bupati/wali kota dan 23 gubernur yang terjerat kasus korupsi. Dari data tersebut, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), modus paling umum adalah suap untuk memperoleh perizinan.
Hasil korupsi tersebut umumnya dipergunakan oleh kepala daerah untuk modal pemilu selanjutnya. Menurut Litbang Kemendagri (2015), pencalonan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp20 miliar–Rp100 miliar. Sementara itu, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp5 miliar selama satu periode.
Atas hal tersebut, perlu ada pencegahan atas risiko korupsi kepala daerah dari kewenangan pemberian fasilitas fiskal yang dimilikinya. Sebab, praktik tersebut merugikan keuangan daerah. Sekalipun saat ini belum ada kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dalam penerbitan fasilitas fiskal, risiko tersebut ada, terutama menjelang pemilu 2024.
Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan revisi PP 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang merupakan pelaksana UU HKPD. Berikut ini adalah beberapa substansi perubahan yang perlu dilakukan.
Pertama, perlu diatur tiap bentuk insentif fiskal dengan persyaratan yang jelas untuk memperolehnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari penafsiran luas oleh kepala daerah dalam memberikan fasilitas fiskal, tetapi tidak proporsional dengan syarat yang dipenuhi.
Kedua, perlu diatur kewenangan DPRD untuk terlibat dalam mengawasi dan membatalkan pelaksanaan pemberian insentif fiskal. Kewenangan ini berlaku jika syarat pemberian tidak terpenuhi atau ada pelanggaran hukum (suap, gratifikasi, dan sebagainya).
Hal tersebut untuk memastikan check and balances di daerah berjalan optimal melalui fungsi pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah. Pada sisi lain, hal ini untuk mencegah terjadinya kerugian keuangan daerah akibat pemberian insentif fiskal yang tidak sesuai.
Ketiga, perlu diatur kewajiban adanya sistem digital permohonan/pemberian fasilitas insentif fiskal. Hal ini untuk memudahkan permohonan insentif fiskal karena pada daerah tertentu ada kendala jarak desa-kota/kabupaten yang jauh.
Hal ini juga untuk memastikan proses permohonan/pemberian insentif fiskal dilakukan secara akuntabel, tanpa ada risiko konflik kepentingan/suap dalam pemberiannya.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.