Pedagang menata barang jualannya di Pasar Madyopuro yang telah selesai direvitalisasi di Malang, Jawa Timur, Kamis (13/1/2022). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/rwa.
TIDAK sulit. Coba buka aplikasi peramban web di komputer atau ponsel Anda. Ketikkan kata kunci 'penerimaan-pajak-kabupaten-kota-capai-target'. Apa hasilnya?
Dengan algoritma mesin pencarian yang kita asumsikan sama, niscaya tersaji banyak artikel pemberitaan tentang pemerintah daerah, kabupaten atau kota, yang berhasil mengumpulkan penerimaan pajaknya melebihi target APBD pada 2021 lalu.
Ya, tidak sulit untuk menemukan daerah yang mencatatkan capaian positif terkait penerimaan pajak mereka.
Kita ambil contoh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berhasil mengumpulkan penerimaan pajak daerah hingga 111,6% dari target pada 2021. Ada juga Pemerintah Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang mencatatkan penerimaan pajak hingga 103,8% dari target.
Bergeser ke Pulau Jawa, ada Pemkab Rembang di Jawa Tengah yang mengumpulkan pajak daerah hingga 104,7% dari target awal. Kemudian melompat ke Kalimantan, ada Kabupaten Paser yang berhasil mengumpulkan pajak daerah hingga 112% dari target.
Menariknya, Pemkab Paser justru mengeklaim masih ditemukan banya penunggak pajak daerah terutama dari jenis pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak kendaraan bermotor (PKB), hingga pajak air permukaan.
Dari Paser kemudian kita belajar target penerimaan pajak yang dipatok pemda bisa saja di bawah potensi penerimaan pajak (taxable capacity) yang dimiliki.
Lantas apakah peluru kinerja pendapatan daerah memang dengan mudah bisa menyasar target penerimaan pajaknya? Bisa iya, bisa tidak.
Hasil pencarian acak di peramban web terkait target penerimaan pajak daerah di atas ternyata sejalan dengan hasil kajian yang dirilis DDTC Fiscal Research & Advisory pada 2021 lalu, melalui working paper berjudul Mempertimbangkan Reformasi Pajak Daerah berdasarkan Analisis Subnational Tax Effort.
Kajian tersebut merekam pola realisasi target penerimaan pajak daerah di 113 kabupaten/kota di Pulau Jawa yang cenderung 'sangat memuaskan'. Dilihat secara tahunan, seluruh daerah tersebut berhasil mengumpulkan penerimaan pajak melebihi target yang ditetapkan dalam APBD-nya.
Tak tanggung-tanggung, realisasi penerimaan pajak di daerah-daerah tersebut berada di rentang 113% (2019) hingga yang tertinggi 127% (2017). Padahal, kalau digeser ke level nasional melalui APBN, diksi 'target pajak 100%' berubah menjadi cukup menantang bagi otoritas pajak untuk bisa tercapai.
Namun, seluruh prestasi pemerintah daerah dengan capaian penerimaan pajaknya yang tembus 100% itu apakah memang sudah layak? Kajian DDTC Fiscal Research & Advisory juga menyodorkan sebuah pertanyaan terkait hal ini.
Muncul dugaan prestasi pemda dalam memungut pajak daerah ini disebabkan basis pajak daerah atas konsumsi yang stabil dan mudah diprediksi. Dugaan lain, proses penetapan target pajak daerah di level kabupaten/kota memang tidak disusun berdasarkan pada potensi. Namun, lebih condong kepada proyeksi pertumbuhan berbasis data historis.
Penetapan Target
Situasi ini ternyata menjadi salah satu sorotan pemerintah melalui diundangkannya Undang-undang (UU) No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Beleid yang baru saja diundangkan ini mendorong pemda agar lebih baik lagi dalam menganggarkan penerimaan pajak dan retribusi daerahnya.
Targeting terkait penerimaan pajak daerah ini diatur dalam Pasal 102 ayat (1) UU HKPD. Beleid tersebut menyebutkan penganggaran pajak dan retribusi daerah pada APBD setidaknya harus mempertimbangkan kebijakan makroekonomi daerah dan potensi pajak serta retribusi di daerah.
"Kebijakan makroekonomi daerah ... meliputi struktur ekonomi daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing daerah," bunyi Pasal 102 ayat (2) UU HKPD.
Kebijakan makroekonomi daerah harus diselaraskan dengan kebijakan makroekonomi regional dan kebijakan makroekonomi yang menjadi dasar dalam penyusunan APBN.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti juga punya penjelasannya tersendiri tarkait hal ini. Ketentuan mengenai target pajak dan retribusi daerah sebenarnya sudah diatur pada UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
UU HKPD, menurutnya, bersifat sebagai penguat dan mengalokasikan acuan serta panduan bagi pemda dalam menyusun target penerimaan pajak dan retribusinya.
"Mengapa [perlu dikuatkan]? Karena seolah-olah mereka [pemda] cuma butuh berapa maka itu targetnya. Padahal sebetulnya ada perhitungannya. Kami hanya mengingatkan pemda, kalau menghitung pajak itu begini caranya," ujar Prima dalam wawancara khusus dengan DDTCNews awal Januari 2022 ini.
Menurut Prima, penganggaran pajak daerah perlu diperbaiki. Tak sekadar mematok target angka berdasarkan realisasi tahun-tahun sebelumnya, pemda kini perlu mempertimbangkan aspek check and balance dalam penganggaran.
Seperti yang dituliskan di atas, sejumlah aspek perlu masuk perhitungan seperti struktur ekonomi daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi daerah, ketimpangan pendapatan, hingga tingkat kemiskinan.
"Approach-nya adalah kami berikan acuan. Kalau standar kayaknya tidak. Mungkin lebih ke pedoman yang kami berikan. Seharusnya mereka memperhatikan. Saya membayangkan seperti di nasional ya. Ada hitungan ekonominya, potensinya. Jadi bukan cuma angka," imbuh Prima.
Astera mengatakan optimalisasi penerimaan pajak daerah juga dilakukan melalui kerja sama antara Ditjen Pajak (DJP) dan pemda. Sudah ada hamper 200 pemda yang sudah meneken kerja sama pertukaran data dengan tetap memperhatikan ketentuan kerahasiaan.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya Sugiarto mengatakan pertukaran data akan mendukung optimalisasi pengumpulan pajak daerah. Dia menilai upaya optimalisasi itu perlu dilakukan pada jenis pajak daerah yang penghitungan dan penetapan besarannya dilakukan wajib pajak (self assessment).
"Agar wajib pajak daerah yang perhitungan dan penetapan pajaknya dihitung sendiri bisa mendekati nilai riil transaksi," ujarnya.
Kapasitas fiskal daerah
Ibarat dilihat lewat teropong jarak jauh, gambaran menyeluruh dari implementasi UU HKPD terlihat jelas bertujuan meningkatkan kapasitas fiskal daerah. UU 1/2022 ini mengatur secara lebih proporsional antara sumber pendapatan daerah yang berasal dari dana perimbangan dan pendapatan asli daerah (PAD).
Peningkatan kapasitas fiskal daerah menjadi salah satu kunci penting dalam penerbitan UU HKPD. Pasalnya, peran pajak daerah sebagai sumber PAD masih jauh dari optimal. Daerah terbukti masih memiliki ketergantungan yang besar kepada pemerintah pusat dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan.
Tercatat sepanjang 2015-2019, dana perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan daerah dengan rata-rata porsinya mencapai 58% setiap tahun. UU HKPD kemudian hadir membawa resep untuk meredakan gejala ketergantungan daerah terhadap pusat ini.
Secara umum, terdapat 4 ketentuan besar yang diatur dalam UU HKPD yakni tentang pajak dan retribusi daerah, transfer ke daerah dan dana desa, pengelolaan belanja daerah, dan sinergi kebijakan fiskal nasional.
Dalam hal perpajakan, pemerintah pusat memperkuat local taxing power melalui penurunan biaya administrasi dan biaya kepatuhan serta perluasan basis pajak, khususnya bagi kabupaten/kota.
Pajak daerah berbasis konsumsi seperti pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak parkir, dan pajak penerangan jalan diintegrasikan ke dalam 1 jenis pajak yakni pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Tak hanya diintegrasikan, objek PBJT juga diperluas dan diselaraskan dengan objek PPN guna mencegah terjadinya duplikasi pemungutan pajak.
Selanjutnya, kabupaten/kota juga mendapatkan kewenangan untuk memungut opsen PKB dan opsen BBNKB. Opsen dirancang sebagai pengganti dari skema bagi hasil dari provinsi ke kabupaten/kota.
Sebaliknya, provinsi mendapatkan kewenangan untuk memungut opsen atas pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) guna meningkatkan pengawasan atas kegiatan tambang di daerah.
Menyusul diundangkannya UU HKPD, pemda punya waktu 2 tahun untuk menyesuaikan peraturan daerah (perda) tentang pajak daerah masing-masing. Pasal 187 UU HKPD menyebutkan, perda tentang pajak dan retribusi daerah yang disusun berdasarkan UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) masih berlaku selama 2 tahun.
Mengingat UU HKPD diundangkan oleh pemerintah pada 5 Januari 2022, pemda memiliki ruang untuk menyesuaikan perda hingga 5 Januari 2024.
Dengan diundangkannya UU HKPD, pemerintah daerah kini punya panduan hukum yang jelas dalam menganggarkan penerimaan pajaknya.
Goal jangka panjangnya adalah pemerintah daerah bisa ikut meningkatkan tax effort seiring dengan peningkatan target pajaknya. Proses penetapan target pajak daerah perlu dilakukan secara cermat dengan menimbang kapasitas dan potensi daerah.
Manager DDTC Fiscal Research & Advisory Denny Visaro menilai UU HKPD menjadi titik awal dari babak baru desentralisasi fiskal, terutama dalam konteks peningkatan kinerja pajak daerah. Menurutnya, penyusunan target penerimaan pajak yang kredibel menjadi bagian penting dari seluruh skenario desentralisasi fiskal yang dirancang.
"Jika aspek penetapan target ini sudah bisa diperbaiki maka akan makin menjadi lebih jelas apa yang menjadi kekurangan, tantangan, dan pengembangan optimalisasi yang dibutuhkan ke depan. Tentu UU HKPD ini perlu dipandang sebagai upaya awal yang perlu ditindaklanjuti secara positif pada tahap selanjutnya," ujar Denny. (sap)