OPINI PAJAK

Perlunya Reformasi Pemidanaan Pajak Daerah

Senin, 24 Juli 2023 | 17:41 WIB
Perlunya Reformasi Pemidanaan Pajak Daerah

Rizki Zakariya,
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

OPTIMALISASI pendapatan asli daerah (PAD) merupakan tujuan dari adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah (pemda) diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, termasuk menyangkut penerimaan pajak dan retribusi daerah.

Namun, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, belum ada usaha yang maksimal dari pemda untuk meningkatkan penerimaan pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak daerah.

Rata-rata tax ratio seluruh daerah di Indonesia pada 2015-2019 hanya 1,37%. Performa itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan rasio pajak daerah negara lain, seperti Swedia 16%, Australia 4,4%, Portugal 2,3%, dan Hongaria 2%.

Kemudian dari sisi tax effort, berdasarkan pada kajian DDTC Fiscal Research & Advisory terhadap kinerja 113 kabupaten/kota selama 2014-2019, sebagian besar belum mengumpulkan potensi pajaknya secara optimal.

Tidak optimalnya penerimaan pajak daerah juga ditandai dengan belum seriusnya pemda menetapkan target PAD. Menurut BPKP, 43 dari 68 pemda menetapkan target PAD berdasarkan pada perkiraan, bukan potensi yang sebenarnya.

Contohnya, target penerimaan dari pajak hotel, pajak restoran, pajak sarang burung walet, dan pajak air tanah yang disetorkan oleh wajib pajak kepada 68 pemda hanya Rp193 miliar. Nilainya jauh lebih kecil dari potensi sebenarnya Rp790 miliar.

Akhirnya, situasi tersebut menyebabkan pemda sangat bergantung pada dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan belanja daerahnya. Dalam 5 tahun terakhir, porsi dana perimbangan menyumbang rata-rata 58% dari total pendapatan daerah di Indonesia.

Oleh sebab itu, perlu upaya ekstensifikasi pajak oleh pemda. Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah melakukan reformasi pemidanaan pelanggar pajak daerah untuk memulihkan kerugian serta meningkatkan kepatuhan pajak daerah.

Setidaknya ada 3 alasan yang mendasari adanya usulan upaya tersebut. Pertama, pemidanaan pajak daerah sejalan dengan tujuan hukum pidana.

Menurut Bemmelen (1984), hukum pidana bukan hanya untuk memperbaiki pelanggaran hukum yang dilakukan, melainkan juga untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Dalam hal ini, ada hak daerah untuk memperoleh penerimaan sesuai dengan ketentuan daerah di bidang pajak.

Penggunaan instrumen hukum pidana untuk peningkatan penerimaan pajak daerah juga digerakkan oleh upaya pemerintah pusat dalam memulihkan kerugian negara. Hal ini juga telah diatur dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Peraturan Daerah

Kedua, kewenangan daerah untuk membentuk aturan pidana dalam peraturan daerah. Pasal 15 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan s.t.d.d UU No. 13 Tahun 2022 menegaskan perda provinsi atau perda kabupaten/kota dapat mengatur materi muatan pidana.

Atas kewenangan tersebut, beberapa daerah di Indonesia sudah mengatur pemidanaan pelanggar pajak dalam perdanya. Misal, pengaturan di Kota Bekasi dalam Perda No. 10 Tahun 2019, Kabupaten Bekasi dalam Perda No. 5 Tahun 2018, Kabupaten Bogor dalam Perda No. 2 Tahun 2016, Kabupaten Tangerang dalam Perda No. 2 Tahun 2021, dan Kota Tangerang dalam Perda No. 4 Tahun 2018.

Namun demikian, dari seluruh perda tersebut, fokus pemidanaan masih pada hukuman penjara atau kurungan 3 bulan hingga 2 tahun. Fokus pengaturan bukan pada pemulihan kerugian ekonomi daerah.

Hal tersebut juga ditandai dengan tidak adanya mekanisme penghentian penyelidikan atau penyidikan perkara pidana pajak daerah jika terdapat pengembalian kerugian ekonomi daerah dengan kelipatan tertentu, seperti di UU HPP.

Kemudian, bentuk perbuatan yang dipidana juga terbatas tidak menyampaikan atau tidak mengisi dengan benar atas Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), tidak merahasiakan informasi pajak, dan tidak mendaftar Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) daerah.

Padahal, dengan perda, pemda dapat mengkriminalisasi perbuatan menolak pemeriksaan pajak daerah; melakukan pembukuan, dokumen, atau pencatatan pajak daerah palsu; dan tidak menyetorkan atau membayarkan pajak daerah yang telah dipungut/dipotong.

Selanjutnya, ketiadaan pengaturan korporasi sebagai subjek pidana pajak daerah. Padahal, beberapa jenis pajak daerah dipungut oleh badan hukum (PT, CV, dan bentuk lainnya), seperti pajak hiburan, pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame, dan sebagainya.

Pada sisi lain, korporasi memiliki kapasitas modal dan usaha yang lebih besar dibandingkan dengan individu. Kemudian, ada kerentanan pelanggaran pajak oleh korporasi. Dengan demikian, penting untuk dilakukan fokus pemidanaan pelanggaran pajak daerah pada korporasi.

Hal tersebut juga sejalan dengan upaya pemajakan terhadap orang kaya (high net worth individual) atas berbagai jasa/layanan yang dinikmatinya. Pemajakan itu melalui jasa/layanan terkait dengan hiburan, hotel, restoran, dan produk konsumsi lainnya sehingga masuk sebagai pendapatan daerah.

Dari sisi penegakan hukum, perda di 5 wilayah yang disebutkan di atas juga belum lengkap mengatur kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dalam menangani pelanggaran pidana pajak secara lengkap untuk pemulihan kerugian ekonomi daerah.

Oleh sebab itu, perlu adanya penambahan kewenangan PPNS pajak daerah untuk melakukan berbagai upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, dan pemblokiran rekening. Kewenangan ini diperlukan demi optimalnya penegakan hukum pidana pajak di daerah.

Ketiga, momentum kewajiban pemerintah daerah mengubah perda pajak wilayahnya. Sesuai dengan Pasal 187 huruf b UU HKPD, daerah diwajibkan untuk menyesuaikan perda pajaknya dengan ketentuan undang-undang tersebut paling lama 2 tahun sejak 2021.

Selama proses perubahan tersebut, pemda dapat merumuskan kembali ketentuan pidana pajak daerah berdasarkan pada catatan-catatan di atas. Tujuannya untuk mengoptimalkan penerimaan pajak daerah.

Di samping itu, sebagai bagian dari implementasi, pemda juga dapat melakukan kerja sama dengan berbagai instansi untuk menopang penegakan hukum pidana pajak daerahnya. Kerja sama ini seperti dengan kejaksaan negeri untuk pemerintah kabupaten/kota atau kejaksaan tinggi untuk pemerintah provinsi.

Kejaksaan dapat terlibat dalam penanganan perkara pidana daerah berdasarkan surat kuasa khusus. Melalui upaya-upaya tersebut, reformasi pemidanaan pajak daerah di UU HKPD dapat berjalan optimal untuk mewujudkan kemandirian fiskal daerah.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Minggu, 28 April 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK DAERAH

Ada UU DKJ, Tarif Pajak Hiburan Malam di Jakarta Bisa 25-75 Persen

Minggu, 28 April 2024 | 09:30 WIB KANWIL DJP SULSELBARTRA

Lapor SPT Tidak Lengkap dan Tilap Uang Pajak, Direktur PT Masuk Bui

BERITA PILIHAN