MATCHING cost against revenue atau penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan merupakan prinsip yang sudah tidak asing lagi dalam bidang akuntansi dan perpajakan.
Prinsip tersebut berkaitan erat dengan istilah capital allowance, yaitu biaya yang berhubungan dengan perolehan harta sehingga dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak untuk menghitung pajak terutang.
Dalam regulasi perpajakan di Indonesia, prinsip tersebut disinggung dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), yakni pengeluaran untuk memperoleh harta yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak sekaligus. Artinya, pembebanan harus dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun dengan menggunakan metode penyusutan dan amortisasi.
Metode penyusutan digunakan untuk menghitung pembebanan atas pengeluaran terkait perolehan harta berwujud, sedangkan metode amortisasi digunakan untuk menghitung pembebanan atas pengeluaran terkait perolehan harta tidak berwujud.
Metode penyusutan dan amortisasi masing-masing diatur lebih lanjut dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh. Penghitungan penyusutan dan amortisasi dibedakan berdasarkan pada kelompok harta sesuai dengan masa manfaatnya.
Adapun penyusutan terbagi menjadi empat kelompok harta bukan bangunan dan dua kelompok harta bangunan (permanen dan tidak permanen). Sementara itu, amortisasi terbagi menjadi empat kelompok harta tidak berwujud.
Masing-masing kelompok disusutkan atau diamortisasi berdasarkan pada tarif dan metode yang telah ditentukan. Selain harta dengan masa manfaat kurang dari satu tahun, tidak ada pasal dalam UU PPh yang mengatur secara khusus tentang harta yang dikecualikan dari pembebanan dengan metode penyusutan dan amortisasi.
Berbeda dengan Indonesia, Australia memiliki cara tertentu dalam menentukan capital allowance atas aset yang dapat disusutkan atau diamortisasi. Hal ini diulas dari kasus Healius dalam artikel karya Christina Allen berjudul Healius: A Lost Opportunity for Australian Capital Allowance Reform.
UU PPh Australia mengatur capital allowance atas harta yang memiliki masa manfaat terbatas dan nilainya berkurang seiring waktu. Namun, harta itu tidak termasuk tanah, saham trading, atau harta tidak berwujud. Hanya harta tidak berwujud tertentu yang termasuk dalam positive list sehingga dapat disusutkan dan menjadi capital allowance.
Adapun positive list tersebut terdiri atas delapan kategori harta tidak berwujud, yaitu (i) mining, quarrying, or prospecting rights, (ii) mining, quarrying, or prospecting information, (iii) patents, copyrights, and registered designs, (iv) in-house software, (v) indefeasible rights to use (IRUs), (vi) spectrum licenses, (vii) data broadcasting transmitter licenses, dan (viii) telecommunication site access rights.
Artinya, apabila suatu harta tidak berwujud tidak termasuk dalam positive list tersebut maka pengeluaran terkait dengan harta tidak berwujud tersebut tidak dapat dijadikan sebagai capital allowance. Selain itu, capital expenditure tertentu juga dapat menjadi capital allowance.
Capital expenditure yang dimaksud dalam hal ini adalah pengeluaran untuk memperoleh harta yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun, tetapi pembebanannya dilakukan secara menurun (decline in value over time). Pembebanan tidak dapat dilakukan secara langsung (immediate deduction).
Artikel ini mengulas sengketa mengenai penentuan termasuk atau tidaknya harta tidak berwujud berupa kontrak penjualan eksklusif yang dimiliki perusahaan bidang kesehatan (Healius) sebagai capital expenditure.
Pengadilan federal mengategorikan harta tidak berwujud tersebut sebagai capital expenditure, sedangkan Healius tidak mengakuinya sebagai capital expenditure. Upaya penyelesaian atas sengketa ini pun dibawa ke Pengadilan Tinggi Australia.
Australia memiliki tiga jenis pengujian karakteristik untuk menentukan suatu harta termasuk sebagai capital expenditure. Uji karakteristik yang digunakan untuk penentuan adalah uji struktur bisnis (business structure test) yang merupakan salah satu dari tiga jenis pengujian di Australia. Namun, uji struktur bisnis tersebut justru disebut menyebabkan ambiguitas dalam menentukan karateristik capital expenditure.
Uji struktur bisnis membedakan pengeluaran menjadi dua kategori. Pertama, pengeluaran yang berkaitan dengan struktur suatu bisnis. Kedua, pengeluaran dalam rangka menjalankan aktivitas bisnis sehari-hari. Kategori pertama merupakan capital expenditure, sedangkan kategori kedua termasuk sebagai current expenditure.
Permasalahan dalam pengujian ini adalah terkait dengan kategori pertama. Sebagai contoh, apabila struktur bisnis tersebut didefinisikan secara luas, termasuk atas business goodwill, hampir semua pengeluaran dapat dikategorikan sebagai capital expenditure.
Biaya kebersihan pun dapat dikategorikan sebagai capital expenditure karena termasuk sebagai pengeluaran untuk mempertahankan atau mendongkrak nama baik dan image perusahaan (business goodwill).
Dalam hal ini, kategori atas kontrak penjualan eksklusif Healius tersebut masih diperdebatkan. Namun, penggunaan uji struktur bisnis yang digunakan untuk menentukan kategori untuk kasus Healius ini dirasa tidak tepat. Padahal, kasus Healius ini seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk melakukan reformasi terkait dengan capital allowance.
Reformasi tersebut dapat menjadi harapan untuk menghilangkan sistem capital allowance Australia yang kompleks dan ambigu. Dengan demikian, reformasi tersebut dapat memberikan keadilan dan kepastian bagi wajib pajak.
Artikel ini relevan untuk digunakan sebagai referensi pemahaman isu capital allowance, khususnya di Australia. Tidak hanya membahas terkait kasus Healius, artikel ini juga memberikan contoh kasus terdahulu yang dapat dijadikan perbandingan dan pertimbangan.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.