MANEKIN krem pucat terpelanting ke tengah trotoar, dihujani serpihan kaca dari etalase sebuah toko baju yang dilempari batu demonstran.
Jalanan kacau. Warga sipil yang marah turun ke jalan-jalan. Teriakan orang-orang yang menyuarakan protes membalap bunyi sirine ambulans dan mobil patroli.
Leary Clothing, yang berdiri di pojok persimpangan antara 7th Street Northwest dan Q Street Northwest tak luput dari amukan massa. Barang-barang di dalamnya dijarah.
Perekonomian lumpuh. Bangunan-bangunan dilalap api, tersulut angin musim semi yang kencang.
Ibu kota Amerika Serikat itu dikepung asap hitam di banyak blok, terutama di sekitar Gedung Putih dan Capitol. Selama 4 hari, 4-8 April 1968, kerusuhan berlangsung di Washington D.C. dan membuat sedikitnya 1.000 bangunan rusak, 1.200 orang terluka, dan 13 warga meninggal dunia.
Secara eksplisit, kerusuhan yang meletus di Washington dilatari oleh pembunuhan Martin Luther King Jr. Namun, ini bukan sebatas isu rasial. Lebih jauh, Washington Riot 1968 yang merembet ke banyak kota di dunia itu juga dipicu oleh diskriminasi ekonomi, ketimpangan pendapatan yang tinggi, hingga tingkat kemiskinan yang melonjak.
Kritik utama yang muncul di tengah Washington Riot 1968 adalah kebijakan pemerintah federal yang dianggap tak cukup ampuh mengatasi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
Permasalahan ekonomi yang dihadapi kelompok menengah ke bawah Amerika Serikat bukannya dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Programnya ada, tapi memang tidak populer di tengah publik.
Di bawah kepemimpinan Presiden Lyndon B. Johnson, sudah ada insentif-insentif fiskal yang diberikan kepada masyarakat. Misalnya, mortgage interest deduction, state and local bond interest exemption, property tax deduction, hingga pengurangan penghasilan kena pajak lainnya.
Sayangnya, seluruh insentif tersebut tidak 'dirasakan' keberadaannya oleh masyarakat. Publik tidak tahu bahwa selama ini ada wujud bantuan yang diberikan pemerintah melalui keringanan pajak.
Di sisi lain, pemerintah juga tidak punya dokumentasi dan mekanisme evaluasi terhadap beragam insentif yang diberikan. Semuanya mengucur tanpa ada kontrol yang jelas.
Pemerintah AS, saat itu, belum memiliki kemampuan untuk mendesain ulang insentif yang sudah diberikan. Apakah sudah pas? Atau perlu diganti?
Misalnya, kebijakan preferential rate untuk capital gains, apakah memang bermanfaat bagi rakyat kecil? Atau justru kelompok kaya yang menikmatinya?
Padahal, pemberian insentif fiskal bisa menjadi kebijakan yang baik untuk mendukung perekonomian kelompok menengah ke bawah. Apabila ini tidak direkam dan didaur berkala maka hasilnya tidak akan optimal. Ujungnya, bisa jadi muncul perlawanan rakyat seperti yang terjadi di Washington, 1968.
Rakyat mengamuk bukan semata-mata karena ada ketidakadilan, tetapi juga didukung oleh ketidakpahaman atas kebijakan pemerintah.
Sepanjang tahun fiskal 1968, bertepatan dengan tercetusnya kerusuhan di Amerika Serikat, muncul diskusi publik mengenai penggunaan insentif pajak untuk mencapai berbagai tujuan sosial dan ekonomi nesional.
Pemerintah mulai menyadari bahwa struktur pajak Federal turut mencakup banyak insentif perpajakan, seperti pengurangan, kredit pajak, pengecualian, hingga pembebasan pajak atas objek pajak tertentu.
Seluruh fasilitas perpajakan tersebut disadari turut 'menggerus' pendapatan negara demi mencapai tujuan-tujuan ekonomi lainnya. Alasannya, ada pos-pos penerimaan yang hilang akibat kebijakan pemerintah demi memberikan keringanan bagi masyarakat.
Padahal, diberikannya sejumlah fasilitas perpajakan tersebut juga punya tujuan yang sama dengan wujud belanja langsung lainnya, yakni menyejahterakan rakyat.
Stanley Surrey, seorang Staf Menkeu Bidang Kebijakan Pajak, lantas menyodorkan pandangannya mengenai urgensi pencatatan secara penuh terhadap fasilitas-fasilitas perpajakan yang ekivalen dengan belanja langsung.
"Saya menyebutnya dengan belanja perpajakan (tax expenditure), yakni pendapatan pajak kita yang hilang. Karenanya, belanja ini harus dicantumkan secara akuntansi di dalam anggaran Federal," kata Surrey dalam Annual Report of the Secretary of the Treasury on the State of the Finances, tahun fiskal 1968.
Dengan demikian, Surrey melanjutnya, pemerintah Federal memiliki kemampuan untuk melihat berapa anggaran yang dibelanjakan untuk memberikan insentif bagi publik.
"Kita bisa melihat belanja negara bukan sekadar belanja langsungnya saja, tetapi juga belanja yang sifatnya berupa 'pajak yang tidak dipungut'," kata Surrey.
Berkat Surrey, sejak 1968, Amerika Serikat mulai mencantumkan belanja perpajakan di dalam APBN-nya. Seiring berjalannya waktu, kewajiban penyusunan dan pelaporan belanja perpajakan secara resmi dimulai 1974 melalui Congressional Budget and Impoundment Control Act yang ditandatangani oleh Presiden Johnson.
Kerusuhan 1968 dan konsep belanja perpajakan yang diciptakan oleh Surrey memang tidak berkaitan secara langsung. Namun, keduanya terjadi di tengah atmosfer sosial-politik yang sama: krisis keadilan sosial dan desakan reformasi kebijakan publik di AS pada akhir 1960-an.
Mozumi (2022) dalam tulisannya berjudul Tax Expenditures and the Tax Reform Act of 1969 in the United States, menyebutkan bahwa melalui konsep belanja perpajakan, Presiden Johnson menggagas 'Great Society'. Salah satu tujuannya, memastikan penerima manfaat dari setiap belanja pemerintah bukan hanya kelompok mampu, tetapi juga masyarakat berpenghasilan rendah.
Darussalam dan Kristiaji (2014) dalam DDTC Working Paper: Tax Expenditure atas Pajak Penghasilan menuliskan bahwa argumen utama yang disampaikan rezim Johnson dalam pengenalan tax expenditure adalah agar Kongres AS memiliki kontrol belanja yang lebih baik, dengan melihat belanja formal ataupun yang 'tidak formal'.
Konsep belanja perpajakan sebagai penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang juga berlaku di Indonesia. Namun, perekaman perhitungan belanja perpajakan secara formal dan resmi untuk pertama kalinya dilakukan pada 2018 melalui Laporan Belanja Perpajakan.
Sejak saat itu, tiap tahunnya hingga kini, Laporan Belanja Perpajakan rutin diterbitkan. Namun, apakah belanja perpajakan telah menjadi bagian penting dalam penyusunan strategi fiskal di Indonesia?
Laporan Belanja Perpajakan yang dirilis tahunan tidak boleh sekadar menjadi setumpuk dokumen yang berisi angka-angka fasilitas perpajakan yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak.
Lebih jauh, mestinya ada tolok ukur evaluasi yang jelas untuk melihat seberapa efektif pemberian belanja perpajakan selama ini. Dari sana, sama seperti yang dilakukan Johnson lebih dari 50 lalu, pemerintah bisa mendesain pemberian insentif dan berbagai 'kebaikan' pemerintah dari sisi fiskal secara tepat sasaran. (sap)