PANGERAN DIPONEGORO:

'Jika Pemegang Pedang Juga Pemegang Uang, Bagaimana Ini?'

Redaksi DDTCNews | Selasa, 16 Oktober 2018 | 11:46 WIB
'Jika Pemegang Pedang Juga Pemegang Uang, Bagaimana Ini?'

Gefangennahme von Prinz Diponegoro 1847, Raden Saleh

NAMANYA Mustahar. Nama itu diambil dari bahasa Arab. Artinya ‘penuntut kesucian’. Sewaktu ia lahir, sebuah nujuman terbit: Ia akan memberi kerusakan lebih banyak kepada Belanda ketimbang yang sudah dilakukan kakek buyutnya. Namun, hanya Tuhan yang tahu akhir ceritanya.

Penujum itu, Sultan Hamengkubuwono I, adalah kakek buyutnya sendiri. Ayahnya bernama Raden Mas Surojo, yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono III. Ibunya seorang selir bernama Raden Ayu Mangkarawati. Saat melahirkan, ibunya baru berusia 14 tahun dengan suami 16 tahun.

Mengingat ibunya yang belia, juga karena amanat kakek buyutnya, ia lalu diasuh nenek buyutnya, Ratu Ageng, permaisuri Sultan Hamengkubuwono I. Ketika berusia 7 tahun, kakek buyutnya wafat, dan tahta kesultanan pun diserahkan ke kakeknya, Raden Mas Sundoro, Sultan Hamengkubuwono II.

Baca Juga:
'Jangan Berbuat Aniaya terhadap Rakyat Banyak'

Namun, saat itu Ratu Ageng mulai merasakan ketidakcocokan dengan gaya hidup keraton. Ia melihat Sultan Hamengkubuwono II kian permisif dan menyepelekan tuntunan agama. Kecewa berat, akhirnya ia keluar dari keraton dengan membawa Mustahar. Ia pergi ke Tegalrejo, sekitar 5 km dari keraton.

Di kawasan tersebut, Ratu Ageng mengasuh Mustahar, dan secara khusus memberikan pendidikan dan pengajaran ilmu agama. Ratu Ageng sendiri meminta beberapa guru dan pemuka agama untuk menjadi guru langsung cicitnya. Dari mereka itulah, Mustahar mulai mendalami ilmu agama.

Pada usia 20 tahun, Sultan Hamengkubuwo II memanggilnya. Ia diberi nama Raden Mas Ontowiryo. Sejak itu, ia tinggal di keraton, tapi masih bolak-balik dari Tegalrejo. Ternyata ia lebih kerasan hidup bersama rakyat. “Jangan berbuat aniaya terhadap rakyat banyak,” katanya dalam Babad Diponegoro.

Baca Juga:
'Belanda Tidak Punya Hak Lagi atas Indonesia'

Berselang 7 tahun, setelah ayahnya kembali naik tahta menggeser Sultan Hamengkubuwono II yang dibuang Inggris ke Penang, ia mendapat nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Tak lama setelah itu, ayahnya menawarinya tahta. Namun, ia menolak karena menyadari ibunya yang hanya selir.

Sultan Hamengkubuwono II lantas memberikan tahta ke anak permaisurinya, Raden Mas Ibnu Jarot. Karena Jarot masih 10 tahun, Paku Alam I lalu ditunjuk sebagai walinya dibantu Patih Danuredja IV, mantan pejabat Bupati Japon yang pernah diusulkan Diponegoro menggantikan Patih Danuredja III.

Dari situlah kekuasaan Patih Danuredja IV mulai membesar. Ia menggalang kekuatan bersama Belanda untuk mengamankan keraton. Ia juga mengaktivasi puluhan jenis pajak, mulai dari pacumpleng, wilah-welit, pagendel, paniti, paletre, pakeplop, pangawang-awang, pacigar, cukai tol, dan seterusnya.

Baca Juga:
Apa yang Membuat Orang Jawa Begitu Miskin?

Kekecewaan Diponegoro dengan pemungutan pajak yang didukung Belanda itu kian besar tatkala mengetahui keserakahan Patih Danuredja IV. Di puncak kemuakannya, seperti dilansir Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 oleh Peter Carey, ia menempeleng Patih Danuredja IV dengan selop.

Segera setelah peristiwa itu, Diponegoro pun hengkang dari keraton dan menetap di Tegalrejo, sampai akhirnya kawasan tersebut digeruduk tentara Belanda, dan dibakar. Namun, ia berhasil lolos dan melarikan diri ke Gua Selarong, sekitar 16 km ke arah selatan. Hari itu, Perang Jawa telah pecah.

Di Goa Selarong, Diponegoro mulai mengonsolidasikan pasukannya. Ia yang menentang Belanda secara terbuka, dan menyeru dilakukannya Perang Sabil, mulai menuai simpati dan dukungan rakyat. Hampir 60% pangeran di keraton mendukungnya, juga pemuka agama, sekaligus para bandit desa.

Baca Juga:
'Dana Pajak Ini untuk Meredam Dampak Ekonomi Pasar'

Pergerakan pasukannya kian meluas ke Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Lalu menyebar ke timur hingga ke Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya. Ratusan kyai terlibat dalam pasukan itu. Ia juga mengangkat Kyai Mojo dan Sentot Prawirodirdjo sebagai panglima perangnya.

Pada Desember 1828, di tengah kian sulitnya pendanaan dan logistik yang dialami pasukan, Sentot meminta agar Diponegoro memberikannya kekuasaan untuk memimpin seluruh pasukan sekaligus menarik pajak secara langsung dari rakyat. Tentu saja, situasi ini mengganggu batin Diponegoro.

Ia khawatir jangan-jangan rakyat kebanyakan bakal tertindas jika Sentot—yang terkenal suka hidup boros—diizinkan memegang tanggung jawab militer sekaligus pemerintahan. “Jika orang yang memegang pedang juga memegang uang, bagaimana? Apa tidak terbengkalai?” kata Diponegoro.

Baca Juga:
'Saya Harus Memberi Contoh Demokrasi'

Namun, ia akhirnya setuju membagi uang pajak—sesuatu yang disesalinya. Terbukti, saat Belanda membangun benteng di Nanggulan, Kulonprogo, Sentot tidak segera bereaksi karena sibuk dengan urusan keuangan. Ketika Sentot menyerang, benteng itu sudah terlalu kuat ditembus.

Selama 5 tahun perang itu, Belanda kehilangan 15.000 tentara dan kas 20 juta gulden. Sementara penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000. “Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa,” kata Diponegoro. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 04 April 2023 | 11:15 WIB PANGERAN DIPONEGORO:

'Jangan Berbuat Aniaya terhadap Rakyat Banyak'

Kamis, 03 Juni 2021 | 16:07 WIB A.A. MARAMIS:

'Belanda Tidak Punya Hak Lagi atas Indonesia'

Kamis, 06 Mei 2021 | 16:29 WIB R.A. KARTINI:

Apa yang Membuat Orang Jawa Begitu Miskin?

Rabu, 14 April 2021 | 13:50 WIB MIKHAIL S. GORBACHEV:

'Dana Pajak Ini untuk Meredam Dampak Ekonomi Pasar'

BERITA PILIHAN
Selasa, 19 Maret 2024 | 09:07 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Fitch Pertahankan Credit Rating RI pada BBB dengan Outlook Stabil

Selasa, 19 Maret 2024 | 08:58 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Begini Skema Pajak (PPh Pasal 21) pada Bulan Pegawai Terima THR

Senin, 18 Maret 2024 | 18:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Aktivasi EFIN Tak Harus di KPP Terdaftar, Bisa Cari yang Terdekat

Senin, 18 Maret 2024 | 18:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu PKBE dalam Konsolidasi Barang Ekspor?

Senin, 18 Maret 2024 | 17:30 WIB PENGADILAN PAJAK

Percepat Penyelesaian Sengketa Pajak, Data Analytics Dikembangkan

Senin, 18 Maret 2024 | 17:20 WIB LAPORAN KINERJA SETJEN 2023

Transformasi Sekretariat Pengadilan Pajak, Fokus 5 Hal Ini Tahun Lalu

Senin, 18 Maret 2024 | 17:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Dapat Hadiah, Bagaimana Cara Melaporkannya di SPT Tahunan?

Senin, 18 Maret 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Simpanan Emas Bertambah, Isi SPT Perlu Tambah Baris Harta yang Baru

Senin, 18 Maret 2024 | 16:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Submit SPT Tahunan Gagal karena Token Tidak Valid, DJP Sarankan Ini