Tampilan depan Working Paper bertajuk ‘Metode dan Teknik Proyeksi Penerimaan Pajak: Panduan dan Aplikasi’.
JAKARTA, DDTCNews – Hingga akhir Oktober 2019, realisasi penerimaan pajak hanya tumbuh 0,23%. Realisasi ini tercatat melambat signifikan bila dibandingkan capaian pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu sebesar 17,56%.
Jika melihat kinerja dibandingkan dengan target, realisasi per akhir bulan lalu senilai Rp1.018,47 triliun hanya mencapai 64,56% dari target Rp1.577,56 triliun. Pada periode yang sama tahun lalu, penerimaan pajak mencapai 71,4% dari target.
Sebelumnya, dalam laporan semester, Kementerian Keuangan memproyeksi penerimaan pajak tahun ini bisa mencapai 91% atau senilai Rp1.437,5 triliun. Dengan demikian, otoritas memproyeksi shortfall – selisih kurang realisasi dan target – penerimaan pajak tahun ini senilai Rp140 triliun.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi terbaru dari otoritas fiskal mengenai proyeksi terbaru shortfall. Namun, sebelumnya beredar kabar mengenai pelebaran shortfall penerimaan pajak hingga mencapai Rp200 triliun.
Berpijak dari perkembangan realisasi penerimaan pajak yang disampaikan Kemenkeu, DDTC Fiscal Research dalam Working Paper terbaru bertajuk ‘Metode dan Teknik Proyeksi Penerimaan Pajak: Panduan dan Aplikasi’ memproyeksi bahwa dalam kondisi normal penerimaan pajak bisa mencapai 86,3% (pesimis) hingga 88,6% (optimis) dari target. Unduh WORKING PAPER tersebut di sini.
Dengan demikian, realisasi penerimaan pajak diproyeksi akan berada di rentang Rp1.361 triliun hingga Rp1.398 triliun. Hal ini berarti shortfall penerimaan pajak bisa mencapai Rp179 triliun hingga Rp216 triliun, lebih besar dari outlook pemerintah Rp140 triliun.
Namun, mengingat kondisi 2019 jauh dari kata normal maka risiko shortfall yang semakin melebar sulit untuk dihindari. Efek perlambatan ekonomi global ke domestik menjadi penyebab utamanya.
Selain berisiko semakin menekan penerimaan pajak dari sisi impor, ada risiko dari sisi penerimaan pajak korporasi. Apalagi, data produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III menunjukkan adanya perlambatan yang signifikan dari sisi investasi.
Dalam kondisi tersebut, DDTC Fiscal Research memproyeksi penerimaan pajak hanya akan mencapai 83,6% atau sekitar Rp1.318 triliun. Dengan demikian, shortfall berisiko makin dalam hingga mencapai Rp259 triliun.
Working Paper yang disusun oleh Tax Researcher DDTC Danu Febrantara, Tax Researcher DDTC Dea Yustisia, dan Fiscal Economist DDTC Denny Vissaro menegaskan proyeksi penerimaan pajak yang akurat sangat krusial dalam pengelolaan fiskal suatu negara. Proyeksi penerimaan pajak yang akurat tidak hanya melindungi anggaran negara dari risiko defisit yang berlebihan.
“Tapi juga menjaga reputasi fiskal pemerintah dan keyakinan publik. Dengan demikian, target penerimaan pajak haruslah disertai dengan asumsi atau prasyarat keberhasilan,” demikian kutipan pernyataan dalam kajian tersebut.
DDTC Fiscal Research melihat ketersediaan studi proyeksi penerimaan pajak saat ini masih relatif terbatas, terutama pengembangan yang dikhususkan secara kontekstual untuk suatu negara. Padahal, dibutuhkan suatu instrumen proyeksi penerimaan yang terus berkembang dan mampu menyaring data dan informasi yang relevan dan berkualitas.
Working Paper kali ini memaparkan bagaimana kriteria proyeksi penerimaan pajak yang baik, mengulas berbagai pendekatan metode proyeksi penerimaan pajak yang kredibel, serta mengaplikasikan metode tersebut.
Sejak 2013, DDTC Fiscal Research telah menginisiasi upaya melakukan proyeksi penerimaan pajak dan perpajakan di Indonesia. Langkah tersebut didorong keprihatinan mengenai target penerimaan pajak yang sejak 2009 tidak pernah tercapai.
“Risiko fiskal, terutama defisit anggaran yang melebar, berpotensi timbul dari realisasi yang berada di bawah target penerimaan pajak. Tidak terpenuhinya target juga menciptakan sinyalemen bahwa ruang untuk melakukan ekspansi dalam pendanaan pembangunan menjadi terbatas,” imbuh DDTC Fiscal Research.
Proyeksi yang dilakukan oleh DDTC Fiscal Research umumnya dilakukan sebanyak dua kali, yaitu akhir tahun dan pertengahan tahun. Hal ini mengingat situasi ekonomi serta lanskap pajak yang kerap berubah-ubah.
Dari pengalaman DDTC Fiscal Research, proyeksi yang dilakukan tidak selalu tepat dan ada kalanya meleset dari nilai realisasi penerimaan pajak di tahun bersangkutan. Berbagai perubahan kondisi makroekonomi dan kebijakan yang dilakukan dalam tahun berjalan sering tidak bisa diprediksi secara presisi. Pola penerimaan pajak menjadi semakin sulit terbaca. Sejak 2013 hingga 2018, setidaknya dua proyeksi DDTC Fiscal Research selaras dengan realisasi penerimaan pajak yaitu pada 2016 dan 2018. (kaw)