Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Angka realisasi penerimaan pajak 2019 akan menentukan ‘nasib’ pencapaian target pada tahun ini. Pasalnya, shortfall – selisih kurang antara realisasi dan target – penerimaan pajak 2019 cukup besar. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (6/1/2020).
Hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari pihak Ditjen Pajak (DJP) maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait realisasi penerimaan pajak maupun APBN 2019. Agenda konferensi pers yang semula digelar pagi ini dikabarkan mundur menjadi besok, Selasa (7/1/2019).
Berdasarkan pemberitaan Harian Kontan yang mengutip salah seorang sumber di internal Kemenkeu, realisasi penerimaan pajak hingga akhir Desember hanya senilai Rp1.319,66 triliun atau 83,65% dari target Rp1.577,56 triliun. Namun, data tersebut disebut masih berpotensi berubah tidak signifikan.
Belum ada konfirmasi langsung dari otoritas fiskal terkait hal ini. Sebelumnya, Kemenkeu memaparkan penerimaan seluruh regional tidak mencapai target. Setidaknya, dengan informasi realisasi itu, pertumbuhan penerimaan pajak hanya mencapai 0,48% dibandingkan kinerja 2018 senilai Rp1.313,32 triliun dan shortfall sekitar Rp257,9 triliun.
Angka tersebut meleset jauh dari prognosis pemerintah yang memproyeksi penerimaan pajak tahun lalu bisa mencapai 91% dari target atau dengan shortfall Rp140 triliun. DDTC Fiscal Research sebelumnya memproyeksi dalam skenario terburuk, penerimaan pajak 2019 bisa hanya sekitar 83,6% dari target.
Bagaimanapun, kinerja tahun lalu akan berdampak pada pertumbuhan riil target 2020. Tahun ini, penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp1.642,6 triliun. Target itu hanya tumbuh 4,1% dari target 2019 atau tumbuh 14,3% dari prognosis pemerintah.
Jika informasi yang diberitakan media nasional pagi ini tepat, target 2020 secara otomatis akan naik menjadi sekitar 24,47%. Sebelumnya, DDTC Fiscal Research memproyeksi realisasi penerimaan pajak 2020 akan berkisar antara 87,1% hingga 89,0%.
Kajian DDTC Fiscal Research terkait tantangan dan outlook pajak 2020 juga masuk dalam majalah InsideTax edisi ke-41 bertajuk ‘Antara Relaksasi dan Mobilisasi’. Anda bisa men-download InsideTax secara gratis di sini.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti penurunan ambang batas pembebasan bea masuk (de minimis) impor barang kiriman dari semula free-on-board US$75 menjadi US$3. Batas US$75 sendiri sudah diturunkan pada 2018 dari sebelumnya US$100.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dalam wawancara khusus dengan Inside Tax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) akhir tahun lalu, Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal mengungkapkan lesunya penerimaan pajak 2019 lebih banyak dipengaruhi faktor kondisi perekonomian.
Dia menjelaskan jika dilihat secara umum, penerimaan pajak terdiri atas dua komponen. Pertama, dari penerimaan rutin atau voluntary compliance. Kedua, dari effort DJP atau enforced compliance. Komposisi voluntary sangat dominan sekitar 85% dan sangat dipengaruhi kondisi makro ekonomi.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan kinerja penerimaan pajak 2019 memang lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global yang merambat ke domestik. Selain itu, tidak ada kebijakan yang signifikan dalam penggalian potensi penerimaan pada semester I/2019.
“Fakta realisasi penerimaan pajak 2019 ini dijadikan renungan untuk tahun 2020, apakah dengan merumuskan kembali target pajak 2020 untuk lebih realistis lagi dan/atau merumuskan kebijakan pajak untuk memperluas basis pajak yang terdiri dari subjek pajak dan objek pajak baru,” katanya.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) R. Syarif Hidayat mengatakan beleid yang memuat de minimis impor barang kiriman yang baru masih dalam proses perundangan. Menurutnya, regulasi diproyeksi akan berlaku mulai akhir Januari 2020.
“Kemungkinan pada akhir bulan ini,” katanya.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga DJBC R. Syarif Hidayat mengatakan potensi penerimaan negara (dalam pos bea masuk) jika penurunan de minimis impor barang kiriman barang kiriman menjadi US$3 berlaku akan naik dua kali lipat dari potensi saat ini Rp6 triliun.
"Jika peraturan ini berlaku maka negara bisa memperoleh nilai menjadi sekitar 12 triliun dalam satu tahun,” ungkapnya.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijkana Fiskal (BKF) Kemenkeu Rofyanto Kurniawan menyebutkan pemerintah akan mengoptimalkan pengenaan PPN dalam ekonomi digital untuk memperluas basis pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan otoritas tengah mempersiapkan infrastruktur pendukung unifikasi SPT Masa. Finalisasi tengah dilakukan otoritas pajak untuk mengukur kesiapan dalam rangka mempermudah kewajiban administrasi bagi wajib pajak.
“Unifikasi SPT Masa PPh sedang kita finalisasi dan saat ini kami siapkan aplikasinya. Kita usahakan di triwulan I ini sudah bisa diimplementasikan," kata Hestu. (kaw)