Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Di tengah kukuhnya sikap pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%, ada pesan yang ingin disampaikan. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, pemerintah ingin lebih banyak lapisan masyarakat yang berkontribusi dalam pembayaran pajak, tidak terbatas pada kelompok kaya saja. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan utama media nasional pada hari ini, Kamis (26/12/2024).Â
Harian Kompas dalam salah satu headline-nya, masih mengulik isu soal kenaikan tarif PPN yang berlaku per 1 Januari 2025 nanti.Â
Airlangga mengungkapkan, penerimaan PPN selama ini belum optimal. Sejauh ini, kata Airlangga, pemungutan PPN hanya berkontribusi terhadap 17% hingga 29% dari total pendapatan negara. Namun, realisasinya tidak sebanding dengan potensinya.Â
Airlangga memberi perumpamaan, selama PPN 11% berlaku, potensi penerimaan semestinya 6% hingga 7%. Namun, realisasinya hanya 4%. "Sisanya, bocor. Kalau begini, apa yang kita bangun? Kita akan membuat jurang kelas atas dan menengah makin jauh," kata Airlangga.Â
Optimalisasi penerimaan pajak, termasuk melalui kenaikan tarif PPN, diyakini bisa ikut mendongkrak rasio perpajakan. Sejauh ini, rasio perpajakan Indonesia masih bertahan di rentang 10% hingga 11%, terendah di antara negara anggota G-20. Makin tinggi angka rasio pajak, makin tinggi pula kemampuan negara untuk membiayai pembangunannya secara mandiri.Â
Kenaikan tarif PPN pun, Airlangga menambahkan, dikompensasikan dengan sejumlah paket kebijakan. Beberapa di antaranya, terutama, pembebasan PPN pada bahan kebutuhan pokok dengan total belanja Rp77,1 triliun. Nilai itu mencakup produk pokok seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu segar, kacang-kacangan, unggas, serta barang hasil perikanan dan kelautan.Â
Hanya saja, hingga sepekan menjelang implementasi PPN 12% ini, pemerintah belum menerbitkan beleid teknis atas kebijakan tersebut.Â
Selain bahasan mengenai kenaikan tarif PPN, ada beberapa ulasan lain yang juga menjadi sorotan utama media nasional pada hari ini. Di antaranya, kepastian batas omzet PPh final UMKM, fitur MFA yang sudah tersedia di portal CEISA, hingga efek penurunan harga tiket pesawat di pengujung tahun.
Anggota DPR dari Fraksi PDIP sekaligus Ketua Badan Anggaran (Banggar) Said Abdullah menyatakan dukungan terhadap kenaikan tarif PPN dari 11% ke 12% pada tahun depan.
Menurut Said, kenaikan tarif PPN bukanlah keputusan yang datang seketika. Tarif PPN sebesar 12% diberlakukan berdasarkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) .
Berdasarkan undang-undang tersebut, tarif PPN sebesar sebesar 12% juga dipertimbangkan dalam menetapkan target pendapatan negara pada APBN 2025. "Dengan demikian, pemberlakuan PPN 12% berkekuatan hukum," ujar Said. (DDTCNews)
Pemerintah memastikan bahwa batas omzet usaha yang bisa memanfaatkan PPh final UMKM tetap Rp4,8 miliar. Artinya, wacana untuk menurunkan threshold PPh final UMKM menjadi Rp3,6 miliar urung dilakukan.Â
Menteri UMKM Maman Abdurrahman memastikan tidak adanya penurunan ambang batas ini.Â
Sebelumnya, wacana penurunan threshold PPh final UMKM disampaikan oleh Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso. Rencana tersebut juga menimbang masukan dan kajian yang dilakukan oleh OECD. (Bisnis Indonesia)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) telah menerapkan fitur Multi-Factor Authentication (MFA) pada portal CEISA 4.0 sejak 1 Desember 2024.
DJBC menyatakan fitur MFA menjadi bagian dari upaya peningkatan keamanan pada portal CEISA. Pengguna jasa pun diminta melakukan aktivasi MFA setelah login CEISA 4.0.
"Untuk dapat mengakses portal pengguna jasa CEISA 4.0, setiap pengguna jasa wajib terlebih dahulu menginstal aplikasi Google Authenticator atau Microsoft Authenticator pada smartphone/handphone," bunyi pengumuman DJBC. (DDTCNews)
Mobilitas masyarakat pada periode libur Natal tahun ini tercatat menguat, sejalan dengan kebijakan pemangkasan 10% harga tiket pesawat. Kementerian Perhubungan mencatat arus penumpang berangkat di domestik selama 18-24 Desember 2024 menembus 1,56 juta orang, naik 8,44% jika dibandingkan tahun lalu.
Meski jumlah penumpang naik, sejumlah pihak mengkhawatirkan penurunan harga tiket akan menekan industri aviasi dalam negeri. Pemerhati penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia Gerry Soejatman menilai kebijakan tiket murah akan berdampak negatif secara jangka panjang bagi industri aviasi.
Alasannya, pemerintah hanya memberikan kebijakan potong harga saja, tanpa dibarengi dengan stimulus lainnya. Pada prinsipnya, imbuhnya, pemangkasan sebenarnya dilakukan terhadap biaya tambahan (fuel surcharge), biaya bandara, biaya layanan penumpang, dan harga avtur. (Bisnis Indonesia) (sap)