Senior Researcher DDTC Fiscal Research Dea Yustisia saat memaparkan materi dalam webinar bertajuk “Refleksi dan Outlook Sektor Pajak Indonesia: Peluang dan Tantangan”.
JAKARTA, DDTCNews – Meskipun memberikan dampak negatif pada penerimaan dalam jangka pendek, pemberian insentif saat krisis diharapkan menjadi instrumen untuk penjagaan basis pajak dalam jangka panjang.
Hal ini disampaikan Dea Yustisia, Senior Researcher DDTC Fiscal Research dalam webinar bertajuk “Refleksi dan Outlook Sektor Pajak Indonesia: Peluang dan Tantangan”. Webinar ini merupakan persembahan DDTC untuk memeriahkan Hari Pajak 2020.
Ketika pemerintah memberikan insentif dalam skala besar untuk menstimulus ekonomi, ungkap Dea, ada risiko tergerusnya penerimaan pajak. Risiko itu muncul sementara dengan harapan ekonomi kembali pulih setelah krisis akibat pandemi Covid-19 seperti saat ini.
“Pemberian insentif dilakukan untuk melindungi basis pajak. Artinya, basis pajak tidak hilang sepenuhnya. Bagaimanapun, ke depan, mau tidak mau, pajak sangat dibutuhkan untuk mendanai pembangunan negara,” ujarnya, Kamis (15/7/2020).
Untuk itu, besarnya pemanfaatan serta efektivitas insentif pajak menjadi penentu. Oleh karena itu, peran konsultan pajak, asosiasi, dan stakeholder lainnya dalam upaya sosialisasi pemanfaatan insentif juga dibutuhkan. Simak ‘Pemanfaatan Insentif Pajak Minim, 60% Minta Gencarkan Sosialisasi’.
Adapun target penerimaan pajak tahun ini juga sudah diturunkan sebanyak dua kali melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.54 Tahun 2020 dan Perpres No. 72 Tahun 2020. Target yang semula Rp1.642,6 triliun diturunkan hingga Rp443,7 triliun atau 27% menjadi Rp1.198,8 triliun.
Dengan target terkontraksi 10% dari capaian tahun lalu, sambung Dea, DDTC Fiscal Research memproyeksi masih adanya risiko shortfall. Proyeksi dengan metode VAR, penerimaan tahun ini akan terkontraksi 10,87%-14,00%. Dengan kata lain, penerimaan pajak diprediksi akan berada di kisaran Rp1.146 triliun-Rp1.187 triliun.
Di sisi lain, dengan metode basis buoyancy, penerimaan diestimasi turun 10,00%-12,00%. Penerimaan pajak diprediksi akan sebesar Rp1.172 triliun-Rp1.199 triliun. Prediksi ini masih dapat bergeser seiring dengan dinamika perekonomian.
Dengan kondisi tersebut, upaya untuk mempertahankan basis pajak sangat penting dalam rangka meningkatkan atau setidaknya menstabilkan tax ratio. Pemerintah dapat memperluas basis pajak tanpa mendistorsi ekonomi terlalu besar. Dalam konteks ini, pemajakan ekonomi digital memiliki peluang. Seperti diketahui, selain pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh), pemerintah juga berencana memperkenalkan pajak transaksi elektronik (PTE).
Selain penjagaan basis pajak, masih terkait dengan prospek tax ratio, peningkatan tax buoyancy juga harus dilakukan. Mobilisasi pajak, lanjutnya, perlu sejalan dengan pemulihan ekonomi. Di masa mendatang, tax buoyancy di atas 1,00 dibutuhkan untuk stabilitas penerimaan dalam jangka panjang.
Dea berpendapat pemerintah juga perlu melihat potensi aktivitas dan objek pajak lainnya. Menurutnya, pajak berbasis aset atau kekayaan memiliki dampak distorsi relatif minim. Hal ini juga dapat menjadi instrumen pemerataan dan solusi atas pemungutan PPh orang pribadi yang belum optimal.
Dalam kesempatan itu, Dea juga mengatakan pandemi Covid-19 harus dijadikan momentum untuk membangun solidaritas pajak. Sistem pajak dapat digunakan sebagai saluran solidaritas. Dari sisi pemerintah, hal ini sudah dilakukan dengan berbagai pemberian fasilitas, semisal melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2020.
Kemudian, pandemi ini juga harus digunakan untuk membangun skema “take and give” dalam kontrak fiskal. Dengan banyaknya relaksasi atau insentif yang diberikan, wajib pajak diharapkan juga mulai meningkatkan kepatuhannya dalam menunaikan kewajiban pajak.
Seperti diketahui, dalam webinar kali ini, Managing Partner DDTC hadir sebagai keynote speaker. Simak artikel 'Pakar: Kepastian Hukum dalam Sistem Pajak Harus Jadi Prioritas’. Selain itu, ada pula Research Coordinator DDTC Fiscal Research Denny Vissaro yang juga hadir sebagai pembicara. Simak artikel ‘DDTC Fiscal Research: Penerimaan Pajak Elastis Saat Ekonomi Turun Saja’. (kaw)