Wakil Presiden ke-11 RI Boediono dalam peringatan Hari Pajak di Kantor DJP, Senin (15/7/2019). (foto: DJP)
JAKARTA, DDTCNews – Wakil Presiden ke-11 RI Boediono mempunyai cerita tersendiri perihal jalannya reformasi perpajakan Indonesia. Dia merasakan sendiri perbaikan regulasi yang beriringan dengan turunnya ekonomi nasional.
Boediono menjelaskan reformasi perpajakan di Indonesia berlangsung bersamaan dengan datangnya krisis atau kesulitan ekonomi. Dia memaparkan tonggak pertama reformasi perpajakan dimulai pada 1983. Saat itu, anjloknya harga minyak memengaruhi keuangan negara.
Rezim pajak akhirnya diubah untuk menggenjot penerimaan negara dari sektor nonmigas dengan memperkenalkan Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Jadi kalau tarik kesimpulan saat lakukan langkah maju jangan tunggu ada krisis, baru lakukan reformasi,” katanya di Kantor Pusat DJP, Senin (15/7/2019).
Lebih lanjut, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) tersebut menjelaskan ada upaya reformasi yang dilakukan ketika resesi ekonomi pada 1997 dan 1998. Format reformasi saat itu dilakukan secara bertahap.
Langkah pertama adalah memperkenalkan kantor pajak yang bersifat khusus yakni kantor pajak untuk wajib pajak besar. Reformasi yang dilakukan pada 2002 silam ini bagian dari reformasi birokrasi yang dijalankan oleh pemerintah.
“Pada 2001 sampai 2004 itu masa konsolidasi APBN termasuk dalam kebijakan pajak dengan buat strategi kumpulkan WP besar dalam satu kanwil,” paparnya.
Kini, reformasi pajak kembali bergulir dengan sejumlah perbaikan yang dilakukan baik pada tataran organisasi dan kebijakan. Perbaikan kebijakan perpajakan, menurut Boediono, harus dilakukan secara cepat.
“Ke depan barangkali soal reformasi jangan terlalu lama bersantai—santai karena ekonomi berjalan lebih cepat saat ini. Kalau berjalan harus lebih cepat [dalam melakukan reformasi],” tegas Boediono. (kaw)