ANALISIS EKONOMI POLITIK

Bila DPR Mempertaruhkan Nasib BPK

Redaksi DDTCNews
Rabu, 28 Agustus 2019 | 17.55 WIB
ddtc-loaderBila DPR Mempertaruhkan Nasib BPK
DDTCNews

DALAM hitungan hari, Komisi XI DPR akan memulai proses pemilihan 5 anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang habis masa tugasnya. Menurut rencana, Komisi XI akan menggelar uji kelayakan dan kepatutan mulai 2 September 2019, dan selesai memilih pada 5 September 2019.

Pemilihan anggota BPK masa bakti 2019-2024 ini memang kalah jauh gebyar-gebyarnya ketimbang pemilihan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang hingga kini tinggal menyisakan 20 kandidat. Perhatian media dan publik umumnya lebih tersedot ke arah sana.

Hanya, pada pemilihan anggota BPK kali ini, siapa saja kandidat yang akan ikut fit and proper test tadi masih belum jelas. Komisi XI memang sudah melakukan seleksi administratif terhadap 64 kandidat yang mendaftar, dan dari seleksi itu terpilih 32 kandidat. Hasilnya juga sudah dikirimkan ke pimpinan DPR.

Namun, pimpinan DPR bergeming. Belakangan, pimpinan DPR menolak hasil seleksi tersebut. Mereka meminta Komisi XI memperbaiki seleksi administratif yang digelar terhadap 64 kandidat itu. Apa yang dinilai secara administratif oleh Komisi XI hingga meloloskan 32 kandidat itu dianggap tidak jelas.

Karena itu, pimpinan DPR belum mengirimkan surat kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk meminta pertimbangan. Ingat, dalam pemilihan anggota BPK, pertimbangan DPD ini termasuk salah satu ‘rukun’ yang harus dipenuhi. Tanpa pertimbangan itu, pemilihan anggota BPK menjadi tidak sah.

Pimpinan DPR jelas punya posisi tawar dalam situasi ini. Apapun hasil seleksi Komisi XI, selama pimpinan DPR tidak mengirimkan surat kepada DPD—karena surat antarlembaga harus disampaikan oleh dan melalui persetujuan pimpinan lembaga—pemilihan anggota BPK tidak akan terjadi.

Namun, dua-duanya ngotot. Komisi XI tidak mau mengubah hasil seleksinya. Sementara itu, pimpinan DPR juga tetap pada penilaiannya. Di lain pihak, DPD masih tenang-tenang saja. Pimpinan DPD memang tidak akan bisa bergerak sebelum ada surat dari pimpinan DPR yang meminta pertimbangannya.

Sebab, dari surat itulah pimpinan DPD bisa menunjuk Komite IV DPD untuk melakukan fit and proper test kepada kandidat anggota BPK, hingga dihasilkan rekomendasi nama anggota BPK ke DPR. Meski rekomendasi itu kerap diabaikan, tetap saja ia tidak mengubah ‘rukun’ sahnya pemilihan anggota BPK.

Kalau hari ini atau katakanlah besok, Kamis (29/8/2019) tiba-tiba terjadi kompromi antara Komisi XI dan pimpinan DPR, lalu pimpinan DPR menyerahkan suratnya ke DPD untuk meminta pertimbangan, tetap sukar membayangkan proses pemilihan BPK akan selesai pada masa DPR kali ini.

Ada konstrain waktu yang sangat mepet baik di kalangan anggota DPR, DPD, maupun anggota BPK yang segera berakhir masa jabatannya. Paling tidak perlu sepekan bagi pimpinan DPD guna menyetujui surat pimpinan DPR, lalu menugaskan lagi Komite IV menggelar fit and proper test kepada kandidat anggota BPK sepekan berikutnya. Total jenderal, 2 pekan.

Sementara itu, paruh September 2019, DPR harus menggelar rapat paripurna yang sekaligus menandai berakhirnya masa berkantor anggota DPR, untuk kemudian digantikan anggota DPR hasil Pemilu 2019. Dengan kata lain, pemilihan anggota BPK terpaksa harus dilakukan DPR periode berikutnya.

Situasi ini belum menghitung kemungkinan DPD menggunakan posisi tawarnya untuk memperlama pemberian pertimbangannya ke DPR. Dalam situasi yang mepet ini, DPD yang semula hampir tidak punya posisi tawar dalam pemilihan anggota BPK, tiba-tiba jadi memiliki posisi yang menentukan.

Memang, dalam politik, semua kemungkinan bisa terjadi. Masyarakat juga belum lupa, bagaimana 2 anggota BPK yang sudah meraih suara terbanyak dan terpilih di Komisi XI, tiba-tiba terpental di rapat paripurna menyusul terbitnya Fatwa Mahkamah Agung Nomor 118/KMA/IX/2009

Dari sisi fleksibilitas politik ini, alternatif yang tersedia hanyalah Komisi XI DPR dan Komite IV DPD menggelar fit and proper test terhadap kandidat anggota BPK secara bersama-sama. Sekalipun ini tidak pernah terjadi, hanya dengan cara itu, rukun 'setelah melalui pertimbangan DPD' sebagai syarat sahnya pemilihan anggota BPK tadi dapat terpenuhi.

Kalau itu tetap tidak terjadi, maka, tidak ada kata lain, nasib BPK-lah yang dipertaruhkan. Komisi XI jelas akan berpikir ulang untuk nekat menggelar fit and proper test pada 32 atau 62 kandidat anggota BPK tanpa rekomendasi DPD. Pertaruhannya terlalu besar, karena hasil fit and proper test tersebut bisa dengan mudah dimentahkan di pengadilan.

Akibatnya untuk BPK, situasinya menjadi lebih rumit. Apabila pemilihan 5 anggota BPK ditunda sampai anggota baru DPR dan DPD hasil Pemilu 2019 dilantik dan alat-alat kelengkapannya terbentuk, berarti BPK hanya akan terdiri atas 4 anggota aktif, karena masa jabatan 5 anggota tadi telah berakhir.

Dengan hanya 4 dari 9 anggota yang tersisa itu, BPK jelas tidak akan bisa mengambil keputusan strategis. Sebab 5 dari 9 anggota itu sama artinya dengan mayoritas. Seperti halnya KPK, yang tidak akan bisa bergerak tanpa kehadiran 3 dari 5 komisionernya.

Hal itu berarti, tidak ada jalan lain, Presiden Joko Widodo harus turun tangan, seperti ketika ia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2015, yang kemudian diikuti dengan penunjukan 3 dari 5 komisioner KPK.

Presiden Jokowi harus menerbitkan Perppu atas UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, agar bisa menunjuk 5 pelaksana tugas (Plt) anggota BPK, sampai kemudian DPR dan DPD hasil Pemilu 2019 bisa kembali memproses pemilihan anggota BPK yang tertunda itu.

Namun, situasi yang paling rumit tentu saja dialami oleh para kandidat anggota BPK. Semua biaya yang sudah telanjur dikeluarkan untuk lobi-lobi politik, baik itu ke partai politik, fraksi di DPR, maupun ke anggota Komisi XI DPR, dengan sendirinya ambyar tak bersisa.

Kalau konsekuensi itu yang terjadi, ya itulah harga yang harus dibayar akibat sikap tidak transparan Komisi XI DPR dalam melakukan seleksi administratif terhadap kandidat anggota BPK. Sebuah ongkos yang mahal memang, dan yang menjadi korban adalah seluruh rakyat Indonesia.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.