Laman muka dokumen PMK 177/2022.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menerbitkan peraturan baru yang mengubah ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan bukti permulaan (bukper) tindak pidana di bidang perpajakan.
Melalui PMK 177/2022, pemerintah mengganti ketentuan tata cara pemeriksaan bukper tindak pidana di bidang perpajakan yang saat ini diatur dalam PMK 239/2014. Penggantian ketentuan ini dilakukan untuk melaksanakan Pasal 43A ayat (4) UU 6/1983 s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
"Untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, perlu dilakukan penggantian terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan," bunyi salah satu pertimbangan PMK 177/2022, dikutip pada Rabu (7/12/2022).
Pasal 2 PMK 177/2022 menyatakan Dirjen Pajak berwenang melakukan pemeriksaan bukper terhadap orang pribadi atau badan yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan bukper tersebut dilaksanakan oleh pemeriksa bukper yang menerima Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Pemeriksaan bukper dilakukan sebelum penyidikan. Dalam hal ini, pemeriksaan bukper dapat tidak ditindaklanjuti penyidikan jika wajib pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administratif. Tentuanya, pengungkapan tersebut sesuai dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Melalui UU HPP dan PMK 177/2022 ini, pemerintah menegaskan ketentuan mengenai hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium) pada tahap pemeriksaan bukper. UU HPP menjelaskan pemeriksaan bukper dilakukan untuk mendapatkan bukper tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana pada bidang perpajakan.
Meski telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukper, Pasal 8 ayat (3) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP menyebut wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya.
Ketidakbenaran perbuatan itu yakni, pertama, tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Kedua, menyampaikan SPT dengan isi tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.Â
Sebagaimana diatur Pasal 8 ayat (3a), sanksi denda yang harus dibayarkan jika wajib pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan saat pemeriksaan bukper adalah sebesar 100% dari jumlah pajak yang kurang dibayar, lebih rendah dari yang diatur dalam UU KUP sebesar 150%.
Pada saat PMK 177/2022 mulai berlaku, dokumen dalam rangka pemeriksaan bukper yang telah diterbitkan dinyatakan tetap sah. Di sisi lain, pada saat PMK ini mulai berlaku, PMK 239/2014 serta Pasal 107 dan Pasal 114 PMK 18/2021 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
"Peraturan menteri ini mulai berlaku setelah 60 hari terhitung sejak tanggal diundangkan [pada 5 Desember 2022]," bunyi Pasal 32 PMK 177/2022. (sap)