KEBIJAKAN PAJAK

DJP Kembali Wacanakan Ubah Batas Omzet PKP Rp4,8 M, Bakal Diturunkan?

Muhamad Wildan
Kamis, 13 Oktober 2022 | 16.30 WIB
DJP Kembali Wacanakan Ubah Batas Omzet PKP Rp4,8 M, Bakal Diturunkan?

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) sedang mempertimbangkan untuk mengubah threshold atau batas nilai pengusaha kena pajak (PKP) yang saat ini berlaku, yakni Rp4,8 miliar.

Bonarsius Sipayung, Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP mengatakan saat ini threshold PKP yang berlaku di Indonesia tergolong tinggi bila dibandingkan dengan threshold di negara lain.

"Kalau kita lihat sekarang, threshold kita [PKP] Rp4,8 miliar itu hampir masuk kategori paling tinggi di dunia, yang melebihi kita itu Singapura," ujar Bonarsius dalam webinar bertajuk Penerapan Ekonomi Digital: Penguatan dan Peran Konsultan Pajak dalam Praktik yang digelar oleh PPPK, Kamis (13/10/2022).

Bonarsius mengatakan saat ini banyak oknum yang bersembunyi di balik threshold PKP tersebut meski omzet mereka sesungguhnya sudah melampaui Rp4,8 miliar.

"Yang membuat miris adalah banyak yang bersembunyi di situ, mengaku di bawah Rp4,8 miliar padahal secara riil sebenarnya berpuluh-puluh kali lipat dari situ. Ini karena tidak bisa kita jangkau mereka," ujar Bonarsius.

Untuk diketahui, threshold PKP yang senilai Rp4,8 miliar telah berlaku sejak 1 Januari 2014 sesuai dengan PMK 197/2013. Sebelumnya, threshold PKP yang berlaku di Indonesia hanya senilai Rp600 juta.

Tingginya threshold PKP yang berlaku di Indonesia telah mendapatkan sorotan dari lembaga internasional, salah satunya Bank Dunia atau World Bank. Lembaga tersebut secara spesifik mendorong Indonesia untuk menurunkan threshold PKP dari Rp4,8 miliar menjadi Rp600 juta seperti sebelumnya.

Menurut World Bank, threshold PKP senilai Rp4,8 miliar telah mempersempit basis PPN Indonesia. Akibat threshold yang tinggi sekaligus banyaknya pengecualian, Indonesia hanya mengumpulkan PPN sebesar 60% dari potensi aslinya.

Tingginya penerimaan yang hilang akibat threshold PKP senilai Rp4,8 miliar telah dilaporkan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam laporan belanja perpajakan yang diterbitkan setiap tahun. Pada 2016, penerimaan pajak yang hilang akibat threshold PKP Rp4,8 miliar mencapai Rp32,94 triliun dan meningkat jadi Rp40,6 triliun pada 2020.

Dengan berlakunya UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah sesungguhnya memiliki opsi untuk mulai mewajibkan UMKM memungut dan menyetorkan PPN dengan mekanisme yang lebih sederhana, yakni dengan skema PPN final.

Sebagaimana diatur pada Pasal 9A ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP, PKP dengan peredaran usaha tak lebih dari jumlah tertentu dapat memungut dan menyetorkan PPN yang terutang atas penyerahan barang dan jasa menggunakan besaran tertentu.

Untuk mengimplementasikan pasal ini, Kementerian Keuangan harus menerbitkan aturan lebih lanjut dalam bentuk PMK.

"Ketentuan lebih lanjut mengenai ... jumlah peredaran usaha tertentu, jenis kegiatan usaha tertentu, jenis BKP tertentu, jenis JKP tertentu, dan besaran PPN yang dipungut dan disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1), diatur dalam PMK," bunyi Pasal 16G huruf i UU PPN s.t.d.t.d UU HPP. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Jolian Baroar
baru saja
- Negara akan butuh lebih banyak pegawai pajak untuk mengawasi pengusaha PKP. - Pengusaha akan butuh pegawai pajak untuk mengelola perpajakan usahanya. - Rakyat (konsumen akhir) akan dibebankan PPN 11% atas beberapa kebutuhan mereka.