Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam paparannya. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memperluas ultimum remedium tindak pidana perpajakan hingga tahap persidangan, dari yang sebelumnya hanya pada tahap penyidikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ultimum remedium dilakukan sebagai upaya penegakan hukum pidana pajak dengan mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan negara. Menurutnya, UU HPP mengatur wajib pajak yang sengaja melakukan tindak pidana akan disanksi lebih berat ketimbang yang alpa atau tidak sengaja.
"Kalau pidananya memang sengaja, memang tujuannya sengaja atau niat banget untuk mengemplang pajak, sanksinya agak lebih gede. Kalau enggak, nanti orang tuman [kebiasaan]," katanya dalam Sosialisasi UU HPP Jakarta-Banten, Sabtu (18/12/2021).
Sri Mulyani mengatakan UU HPP mengatur wajib pajak diberikan kesempatan membayar pokok pajak dan sanksi hingga tahap persidangan, sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa penjatuhan penjara atau ultimum remedium. Dalam hal ini, UU HPP juga mengubah sanksi yang harus dibayar wajib pajak yang melakukan kesalahan.
Sanksi denda yang harus dibayar bervariasi tergantung pada perbuatan wajib pajak. Pada wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan akibat kealpaan, diharuskan membayar pokok pajak dan denda sebesar 1 kali dari pokok pajak yang kurang dibayar.
Kemudian pada wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan secara sengaja, harus membayar pokok pajak ditambah dengan denda sebesar 3 kali pokok pajak yang kurang dibayar. Adapun pada wajib pajak yang membuat faktur pajak/bukti potong fiktif, harus membayar pokok pajak dan denda 4 kali lipat dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Sebelumnya, atas ketiga pelanggaran tersebut, wajib pajak harus membayar pokok pajak dan denda 3 kali lipat dari pajak yang kurang bayar.
"Pemerintah dan DPR menganggap itu cukup lah untuk memberikan remedial," ujar Sri Mulyani. (sap)