Berita Pajak Sepekan 6-10 Desember 2021.
JAKARTA, DDTCNews - Isu perpajakan yang paling banyak menyita perhatian warganet sepanjang pekan ini tidak jauh-jauh dari disahkannya RUU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) menjadi UU.
"Semoga disetujuinya RUU HKPD ini memberikan manfaat yang besar untuk mendorong pengalokasian sumber daya nasional yang efektif dan akuntabel sehingga mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi dalam rapat paripurna, Kamis (7/12/2021).
UU HKPD mengubah sejumlah aspek mengenai perimbangan keuangan dan perpajakan daerah, terutama yang telah diatur di dalam UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
UU HKPD juga menyederhanakan jenis pajak dan retribusi daerah (PDRD) yang selama ini diatur dalam UU 28/2009 tentang PDRD. Tujuannya untuk mengurangi biaya administrasi pemungutan.
Kemudian, UU HKPD mereklasifikasi 16 jenis pajak daerah menjadi 14 jenis pajak dan merasionalisasi retribusi daerah dari 32 jenis layanan menjadi 18 jenis layanan.
UU HKPD juga mengenalkan skema opsen atau pungutan tambahan atas pajak dengan persentase tertentu yang dikenakan kepada wajib pajak.
Skema ini berlaku untuk pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) di kabupaten/kota serta pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) di level provinsi.
Beleid ini juga mengintegrasikan jenis pajak yang selama ini jadi kewenangan pemkab/pemkot, yakni pajak penerangan jalan, pajak parkir, pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, ke dalam 1 jenis pajak baru bernama pajak barang jasa tertentu (PBJT).
Artikel lengkap terkait isu ini, baca Sah! RUU HPP Resmi Jadi Undang-Undang.
Tak cuma topik terkait UU HKPD saja yang menarik pembaca. Isu soal ketentuan di dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ternyata juga masih mendapat atensi warganet. Salah satunya terkait perubahan ketentuan tentang penyusutan dan amortisasi yang diatur di dalamnya.
Ditjen Pajak (DJP) menyatakan dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh s.t.d.t.d UU HPP ditambahkan ketentuan mengenai penyusutan atau amortisasi bangunan dan aset tidak berwujud dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun.
"Ini dilakukan untuk memberikan keleluasaan kepada wajib pajak melakukan penyusutan atau amortisasi bangunan dan aset tidak berwujud di atas 20 tahun," tulis DJP dalam laman resminya.
Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1), penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
Harta berwujud itu kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai. Selain itu, harta berwujud itu dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Sesuai dengan Pasal 11 ayat (2), penyusutan atas pengeluaran harta berwujud selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat.
Penghitungan dilakukan dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku. Pada akhir masa manfaat, nilai sisa buku disusutkan sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Dalam Pasal 11 ayat (6a) disebutkan apabila bangunan permanen mempunyai masa manfaat melebih 20 tahun, penyusutan dilakukan dalam bagian yang sama besar, sesuai dengan masa manfaat pada ayat (6) atau sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan wajib pajak.
Artikel lengkapnya, baca Ketentuan Penyusutan dan Amortisasi Diubah, DJP: Keleluasaan untuk WP.
Selain kedua judul di atas, masih ada sejumlah artikel lain yang juga berhasil mencatatkan jumlah pembaca cukup tinggi. Berikut adalah 5 artikel DDTCNews terpopuler selama sepekan terakhir, periode 6-10 Desember 2021:
1. Penerimaan Capai Rp1.082 Triliun, DJP: Terima Kasih Wajib Pajak
DJP mencatat realisasi penerimaan pajak hingga November 2021 telah mencapai Rp1.082,56 triliun atau setara dengan 88,04% dari target yang ditetapkan tahun ini Rp1.229,59 triliun.
"Penerimaan pajak terus menunjukkan angka positif," sebut DJP dalam akun media sosialnya @ditjenpajakri.
DJP menyebutkan setoran Rp1.082,56 triliun tersebut mengalami pertumbuhan 17% dari periode yang sama tahun lalu senilai Rp925,34 triliun. Pertumbuhan tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan posisi penerimaan hingga Oktober 2021, yang tumbuh 15,3%.
Sementara itu, realisasi penerimaan pajak hingga akhir tahun juga diperkirakan akan mencapai target yang ditetapkan dalam UU APBN 2021 senilai Rp1.229,6 triliun. Jika tercapai, penerimaan pajak sepanjang 2021 akan mencatatkan pertumbuhan 14,7%.
Melalui unggahan itu pula, DJP menyampaikan terima kasih kepada wajib pajak, serta meminta dukungan agar target penerimaan dapat tercapai.
"Terima kasih atas dukungan dan kontribusi wajib pajak. Mari dukung DJP agar bisa meraih target penerimaan pajak tahun 2021," sebut DJP.
2. Perusahaan Bisa Dijatuhi Hukuman Pidana Perpajakan, Simak Ketentuannya
Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) 4/2021 yang menegaskan hukuman denda atas tindak pidana perpajakan dapat dikenakan atas korporasi, tidak hanya orang pribadi.
Direktur Penegakan Hukum DJP Eka Sila Kusna Jaya membenarkan bahwa pertanggungjawaban atas tindak pidana perpajakan tidak lagi hanya kepada perorangan saja, melainkan juga kepada korporasi.
"Tidak lagi hanya ke orang per orang saja, tapi juga ke korporasi sesuai dengan yang mendapat manfaat atau keuntungan atas tindak pidana perpajakan yang dilakukan," ujar Eka.
Eka mengatakan SEMA 4/2021 tidak memberikan implikasi terhadap prosedur penegakan hukum perpajakan yang dilakukan oleh DJP.
Sebelum adanya SEMA tersebut, DJP sesungguhnya telah beberapa kali memidanakan korporasi, meski memang menjatuhkan hukuman pidana kepada korporasi bukanlah hal yang mudah.
"Selama ini untuk kasus pidana korporasi seringkali saksi ahli harus berjuang keras untuk meyakinkan hakim bahwa korporasi bisa dipidanakan dalam kasus pajak," ujar Eka.
3. UU HPP Kurangi Jumlah Kriteria Pemberian Fasilitas PPN, Ini Rinciannya
UU HPP akan mengurangi jumlah kriteria pemberian fasilitas PPN dari awalnya sebanyak 15 kriteria menjadi 10 kriteria.
Kepala Subdirektorat Peraturan PPN Industri DJP Josephine Wiwiek Widwijanti mengatakan pengurangan fasilitas pajak tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperluas basis pajak.
"Fasilitas kriterianya tadinya ada 15 sekarang jadi 10. Perluasan basis PPN ini mempertimbangkan asas keadilan bagi masyarakat dan juga bagi negara," katanya.
Aturan mengenai pemberian fasilitas PPN, baik fasilitas tidak dipungut maupun fasilitas pembebasan tercantum pada Pasal 16B UU PPN yang telah diubah dengan UU HPP.
Saat ini, kriteria mengenai pemberian fasilitas PPN diperinci pada Pasal 16B ayat (1a). Sebelum UU HPP diundangkan, perincian mengenai kriteria pemberian fasilitas PPN hanya dicantumkan pada ayat penjelas dari Pasal 16B ayat (1).
Seperti apa perinciannya, klik tautan judul di atas.
4. UU HKPD Beri Fleksibilitas bagi Pemda Tetapkan PBB, Simak Analisisnya
UU HKPD memberi ruang bagi kabupaten/kota agar lebih leluasa dalam menetapkan pajak bumi dan bangunan (PBB) di daerahnya masing-masing.
Melalui UU HKPD, NJOP yang digunakan untuk penghitungan PBB bisa ditetapkan paling rendah 20% hingga maksimal 100% dari NJOP. Ketentuan seperti ini tidak diatur dalam UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
"NJOP diberi keleluasaan bagi daerah, tidak cuma 100% NJOP tapi ada skema bisa 20% sampai 100% dari NJOP. Ada keleluasaan bagi pemda untuk mengatur sendiri optimalisasi PBB," ujar Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji.
Dengan demikian, kenaikan tarif maksimal PBB dari yang saat ini sebesar 0,3% menjadi 0,5% belum tentu meningkatkan beban PBB yang ditanggung wajib pajak.
Ruang yang besar bagi pemda untuk melakukan improvisasi dalam menetapkan PBB dapat dimanfaatkan oleh pemkab/pemkot untuk meningkatkan daya saing investasi di daerahnya masing-masing.
5. Detail Target Setoran Cukai 2022, Ada dari Plastik dan Minuman Bergula
Pemerintah menargetkan penerimaan cukai, termasuk cukai kantong plastik dan cukai minuman bergula dalam kemasan, sejumlah Rp203,92 triliun pada tahun depan, atau naik 13% dari target tahun ini senilai Rp180 triliun.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Presiden (Perpres) 104/2021 memerinci target penerimaan cukai tersebut. Perincian tersebut termuat dalam lampiran I beleid tersebut.
"Penerimaan perpajakan tercantum dalam lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan presiden," bunyi Pasal 2 huruf a Perpres 104/2021.
Lampiran I Perpres 104/2021 memerinci target penerimaan cukai senilai Rp203,92 triliun. Pada cukai hasil tembakau, pemerintah menargetkan penerimaan senilai Rp193,53 triliun, naik 11% dari target tahun ini Rp173,78 triliun.
Pada cukai etil alkohol, penerimaan ditargetkan Rp190 miliar, naik 19% dari target pada tahun ini Rp16 miliar. Kemudian, setoran cukai minuman mengandung etil alkohol ditargetkan Rp6,8 triliun, naik 22,3% dari target 2021 senilai Rp5,56 triliun.
Selain ketiga jenis barang kena cukai tersebut, pemerintah juga menetapkan target penerimaan cukai dari produk plastik senilai Rp1,9 triliun dan minuman bergula dalam kemasan Rp1,5 triliun pada tahun depan.
6. DEBAT PERPAJAKAN: Peta Jalan Cukai Rokok, Perlukah? Tulis Komentar Anda, Rebut Hadiahnya
Ikuti debat yang digelar DDTCNews ini. Klik tautan pada judul di atas untuk penjelasan mengenai temanya.
Sebanyak 2 pembaca DDTCNews yang memberikan pendapat pada kolom komentar artikel ini dan telah menjawab beberapa pertanyaan dalam survei akan berkesempatan terpilih untuk mendapatkan uang tunai senilai total Rp1 juta (masing-masing pemenang Rp500.000).
Penilaian akan diberikan atas komentar dan jawaban yang masuk sampai dengan Senin, 13 Desember 2021 pukul 15.00 WIB. Pengumuman pemenang akan disampaikan pada Kamis, 16 Desember 2021. (sap)