Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji dalam acara webinar Sistem Perpajakan yang Berkeadilan melalui UU HPP yang diadakan Tax Center PKN STAN, Kamis (9/12/2021).
JAKARTA, DDTCNews - UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan ditetapkannya 43 aturan teknis dalam waktu dekat dinilai perlu menjadi momentum untuk meminimalisasi potensi dan risiko terjadinya sengketa.
Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan pemahaman setiap pemangku kepentingan, mulai dari wajib pajak, konsultan pajak, dan otoritas pajak, atas suatu peraturan bisa jadi berbeda.
Bagaimanapun, perubahan lanskap perpajakan serta pemahaman wajib pajak atas suatu ketentuan pajak memiliki potensi menimbulkan sengketa di kemudian hari, khususnya pada masa-masa ketika suatu ketentuan pajak baru diberlakukan.
"Jadi kita perlu lihat risiko sengketa ini karena bisa mendistorsi kepastian. Kalau kita mengutip IMF dan OECD, itu salah satu aspek yang krusial dan kalau dilihat salah satu pilarnya adalah bagaimana pencegahan dan penyelesaian sengketa," katanya, Kamis (9/12/2021).
Dalam webinar Sistem Perpajakan yang Berkeadilan melalui UU HPP yang diadakan Tax Center PKN STAN, Bawono menilai UU HPP dan reformasi perpajakan ke depannya perlu dibarengi dengan upaya-upaya untuk mencegah serta menyelesaikan sengketa pajak secara efektif dan efisien.
Saat ini, Ditjen Pajak (DJP) sudah memiliki compliance risk management (CRM) sekaligus business intelligence. Dengan mekanisme tersebut, pengawasan dan pemeriksaan atas wajib pajak dilakukan berdasarkan profil risiko dari masing-masing wajib pajak.
Di beberapa negara, lanjut Bawono, sudah banyak otoritas pajak yang memiliki pendekatan alternatif untuk menyelesaikan sengketa seperti melalui mediasi, pendekatan yurisprudensi, hingga penggunaan teknologi untuk memantau tren sengketa perpajakan.
"Penggunaan teknologi misalkan pola sengketa putusan pengadilan yang berulang itu seharusnya dipantau dan bisa diselesaikan tidak perlu sampai ke pengadilan pajak," ujarnya.
Sementara itu, Dosen Ilmu Administrasi Fiskal dari Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan wajib pajak dan otoritas pajak selama ini memang selalu memiliki kepentingan yang berbeda.
Otoritas pajak memiliki kepentingan untuk meningkatkan penerimaan pajak, sedangkan wajib pajak memiliki kepentingan untuk menurunkan beban pajaknya. Dengan demikian, sengketa antara wajib pajak dan otoritas pajak menjadi hal yang lumrah. (rig)