Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta pengusaha di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) bersiap dengan perubahan ketentuan perpajakan setelah konsensus pajak global tercapai.
Sri Mulyani mengatakan proposal konsensus global pajak internasional terus dibahas oleh semua negara. Menurutnya, isu pajak global tersebut juga menjadi salah satu fokus Indonesia ketika menjadi Presidensi G-20.
"Kami akan mendiskusikan pajak internasional yang saya pikir isu ini sangat penting dan relevan untuk Anda semua, terutama perusahaan multinasional yang bekerja lintas negara dan beroperasi secara global," katanya, dikutip pada Minggu (5/12/2021).
Sri Mulyani menuturkan Presidensi G-20 memiliki makna penting bagi Indonesia untuk menunjukkan upaya yang telah dilakukan untuk pulih dari pandemi Covid-19. Indonesia juga mendorong negara anggota G-20 memberikan dukungan aktif sehingga ekonomi di semua negara dapat segera pulih.
Terdapat sejumlah isu yang akan dibahas selama Presidensi G-20 pada 2022, seperti penanganan pandemi secara global melalui pemerataan vaksinasi, upaya pemulihan ekonomi, serta kemajuan dan pelaksanaan global taxation principles.
Menurut menkeu, isu pajak internasional akan menjadi salah satu menu utama dalam agenda prioritas jalur keuangan (finance track) saat Indonesia menjadi Presidensi G-20. Sebab, pembahasan mengenai pajak internasional tidak hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga seluruh negara di dunia.
Terdapat lima topik dalam agenda pembahasan perpajakan internasional di antara negara-negara G-20 antara lain insentif pajak; pajak dan digitalisasi; praktik penghindaran pajak dan transparansi pajak; pajak dan pembangunan; serta kepastian pajak.
Semenjak pertemuan G-20 Juli lalu, diskusi internasional terus menunjukkan perkembangan yang baik sehingga tujuan reformasi perpajakan internasional yang adil semakin dekat.
Misal, terdapat peningkatan jumlah negara anggota OECD/G-20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting yang telah menyetujui solusi dua pilar pajak digital menjadi 136 negara, dari sebelumnya 132 negara anggota.
Proposal Pilar 1: Unified Approach diusulkan sebagai solusi yang menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik.
Pilar 1 mencakup perusahaan multinasional (multinational enterprise/MNE) dengan peredaran bruto EUR20 miliar dan tingkat keuntungan di atas 10%.
Keuntungan perusahaan multinasional kemudian dibagikan kepada negara pasar jika perusahaan memperoleh setidaknya EUR1 juta (atau EUR250.000 untuk negara pasar dengan PDB lebih kecil dari EUR40 miliar) dari negara pasar tersebut.
Salah satu perkembangan dari kesepakatan G-20/BEPS Juli 2021 lainnya adalah pengalokasian 25% keuntungan perusahaan multinasional kepada negara pasar.
Jumlah tersebut akan dibagikan kepada negara pasar berdasarkan porsi penjualannya di masing-masing negara pasar tersebut. Pengaturan yang makin konkret itu dinilai menjadi perkembangan baik bagi negara pasar, termasuk Indonesia.
Dengan alokasi 25%, artinya sistem perpajakan menjadi lebih adil dibandingkan dengan saat ini saat tidak ada alokasi pajak untuk negara pasar tanpa adanya bentuk usaha tetap (BUT).
Sementara pada Pilar 2: Global anti-Base Erosion Rules (GloBE), akan mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global.
Pilar 2 mengenakan tarif pajak minimum 15% bagi perusahaan multinasional yang memiliki omzet senilai EUR750 juta atau lebih. Dengan Pilar 2, tidak akan ada lagi persaingan tarif yang tidak sehat di antara negara-negara yang selama ini terjadi.
Dalam laporan berjudul Statement on A Two-Pillar Solution to Address Tax Challenges Arising From the Digitalization of the Economy, OECD menilai Pilar 2 akan melindungi hak negara berkembang untuk mengenakan pajak atas penghasilan tertentu seperti bunga dan royalti minimal 9%. (rig)