Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Jumat (10/9/2021). ANTARA FOTO/Jojon/wsj.
JAKARTA, DDTCNews - Instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengenakan pungutan atas karbon tidak hanya terbatas pada pajak karbon melalui Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Merujuk pada Pasal 58 ayat (1) Perpres 98/2021, pungutan atas karbon dapat dilakukan dalam bentuk pungutan di bidang perpajakan baik oleh pusat maupun daerah, pungutan kepabeanan dan cukai, hingga pungutan negara lainnya.
Pungutan dilakukan berdasarkan kandungan karbon, potensi emisi karbon, jumlah emisi karbon, atau kinerja aksi mitigasi perubahan iklim.
"Pungutan atas karbon ... dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi Pasal 58 ayat (2) Perpres 98/2021, dikutip Jumat (19/11/2021).
Dalam pelaksanaannya nanti, menteri keuangan mendapatkan tugas dari presiden untuk memformulasikan kebijakan dan strategi pelaksanaan pungutan atas karbon setelah berkoordinasi dengan menteri lingkungan hidup dan kehutanan serta menteri-menteri lainnya.
Kebijakan pungutan atas karbon disusun berdasarkan tujuan pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) dan pengendalian emisi untuk pembangunan nasional.
Untuk diketahui, pajak karbon yang diatur apda UU HPP akan mulai berlaku pada April 2022 dan sebagai tahap awal akan dikenakan terlebih dahulu atas PLTU batu bara.
Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp30 per kilogram CO2e. Pajak karbon menjadi bagian dari upaya Indonesia menurunkan emisi karbon.
Sesuai dengan target NDC, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030. (sap)