Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dan Komisi XI DPR sepakat menurunkan sanksi denda keberatan dan banding melalui RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) atau yang sebelumnya bernama RUU KUP.
Sanksi administratif berupa denda atas keberatan dan banding yang saat ini sebesar masing-masing 50% dan 100%, disepakati turun menjadi 30% dan 60% pada RUU HPP.
"Secara konsepsi kita ingin menguatkan penerimaan pajak itu lebih ke penerimaan pokok, penerimaan yang sejatinya berupa pajak dari rakyat secara substansi, bukan berasal dari denda," ujar Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, Rabu (6/10/2021).
Melalui penurunan sanksi denda tersebut, pemerintah dan DPR RI berkeinginan untuk memberikan ruang keadilan dan ruang kebersamaan guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak terhadap peraturan perpajakan.
"Ini menampung aspirasi banyak pihak dari dunia usaha dalam rangka menjaga kelangsungan dunia usaha ketika mendapatkan surat ketetapan pajak (SKP) dan kemudian melakukan proses keberatan atau banding," ujar Misbakhun.
Penurunan sanksi menjadi 30% dan 60% dipercaya tak akan menambah beban Ditjen Pajak (DJP) dalam memproses keberatan dan banding.
Misbakhun mengatakan sepanjang penerbitan SKP kepada wajib pajak dilakukan secara hati-hati dan dengan memperhatikan hak serta kewajiban wajib pajak, maka proses keberatan dan banding tak akan naik.
"Saya yakin wajib pajak bisa menerima [SKP] sepanjang proses itu berjalan transparan, akuntabel, dan dengan persetujuan wajib pajak," ujar Misbakhun.
Sebagai catatan, pada RUU KUP pemerintah sesungguhnya hanya mengusulkan klausul tentang pengenaan sanksi denda sebesar 100% atas putusan peninjauan kembali yang dimenangkan oleh DJP. Usulan tersebut bukan menurunkan besaran sanksi denda keberatan dan banding.
Dirjen Pajak Suryo Utomo sebelumnya mengatakan pengenaan sanksi kepada wajib pajak atas putusan PK yang dimenangkan oleh DJP belum diatur secara eksplisit. Akibatnya, timbul perbedaan penafsiran hukum antara wajib pajak dan DJP.
Melalui RUU KUP, pemerintah mengusulkan agar sanksi denda atas putusan PK diatur secara eksplisit pada undang-undang. "Ini yang kami coba address agar timbul kesetaraan ketika kita memahamkan putusan yang dibacakan oleh MA itu sendiri," ujar Suryo pada Juli 2021. (sap)