KEBIJAKAN PAJAK

WNI Berstatus SPDN atau SPLN? Ini 4 Konsekuensi Kewajiban Pajaknya

Muhamad Wildan
Jumat, 19 Maret 2021 | 18.25 WIB
WNI Berstatus SPDN atau SPLN? Ini 4 Konsekuensi Kewajiban Pajaknya

Managing Partner DDTC memaparkan materi dalam webinar bertajuk Hak dan Kewajiban Perpajakan Diaspora, Jumat (19/3/2021). (tangkapan layar Youtube)

JAKARTA, DDTCNews – Status warga negara Indonesia (WNI) sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN) atau subjek pajak luar negeri (SPLN) akan menentukan konsekuensi kewajiban pajaknya.

Managing Partner DDTC mengatakan setidaknya ada 4 konsekuensi dari status tersebut. Pertama, bila berstatus sebagai SPDN, basis pengenaan pajaknya berdasarkan pada penghasilan neto. Ketentuan ini berbeda jika WNI berstatus sebagai SPLN.

“Kalau dia menyandang status SPLN maka basis pengenaan pajaknya adalah bruto," ujar Darussalam dalam webinar bertajuk Hak dan Kewajiban Perpajakan Diaspora, Jumat (19/3/2021).

Kedua, bila WNI masih berstatus SPDN, penghasilan yang harus dilaporkan adalah seluruh penghasilan yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Hal ini adalah konsekuensi sistem worldwide income yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh.

"Pasal 4 ayat (1) UU PPh mendefinisikan penghasilan dalam pengertian luas, dalam bentuk apapun, dari sumber manapun, mau digunakan konsumsi atau ditabung, kena pajak di Indonesia,” imbuhnya.

Ketiga, SPDN dikenai pajak berdasarkan pada tarif Pasal 17 UU PPh atas basis net income. Adapun SPLN dikenai pajak berdasarkan tarif proporsional atau berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atas basis penghasilan bruto.

Keempat, untuk SPDN, mekanisme pelaporan kewajiban perpajakannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT). Namun, bila seseorang memenuhi syarat sebagai SPLN, pelaporan pajak adalah berdasarkan pemungutan atau pemotongan final sehingga tidak perlu melaporkan SPT.

Secara prinsip, sesungguhnya setiap negara memiliki kewenangan untuk menentukan kriteria subjek pajaknya masing-masing. Namun, kriteria penentuan subjek pajak sudah tertuang dalam 2 model P3B, yakni OECD Model dan UN Model.

Dengan kedua panduan tersebut, kriteria penentuan subjek pajak dari setiap yurisdiksi cenderung mirip antara satu dan yang lain. Adapun kriteria penentuan subjek pajak pada OECD Model dan UN Model dikenal sebagai tie breaker rule yang dipenuhi secara berjenjang.

Sebagai informasi, acara ini yang diselenggarakan Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom (PPI UK) bekerja sama dengan Indonesian Tax Centre in the United Kingdom (Intact-UK) dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.