Ketua IAI Kompartemen Akuntan Pajak (KAPj) IAI sekaligus Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol memberikan pidato pembuka.
JAKARTA, DDTCNews – Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menggelar Regular Tax Discussion Online dengan topik ‘Advance Pricing Agreement (APA): Upaya Meminimalkan Sengketa Perpajakan Terkait Isu Transfer Pricing’ pada hari ini, Kamis (14/5/2020).
Acara yang berlangsung melalui Ms. Teams ini menghadirkan Ketua Kompartemen Akuntan Pajak (KAPj) IAI sekaligus Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol sebagai pembicara pembuka.
Menurut John, implementasi APA di Indonesia memasuki babak baru setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga transfer (APA).
"PMK 22/2020 untuk memenuhi standar internasional dan juga untuk menekan biaya kepatuhan wajib pajak serta biaya administrasi DJP," katanya Kamis (14/5/2020).
Sesi diskusi virtual dimoderatori oleh Jul Seventa Tarigan. Adapun narasumber dalam acara ini adalah Senior Partner DDTC Danny Septriadi dan Kasubdit Penanganan dan Pencegahan Sengketa Perpajakan Internasional DJP Dwi Astuti.
Pada kesempatan pertama, Dwi Astuti mengatakan fasilitas APA yang tercantum dalam PMK 22/2020 merupakan keistimewaan bagi wajib pajak. Dia mengharapkan APA dapat dimanfaatan untuk memenuhi kebutuhan perpajakan lintas yurisdiksi.
Instrumen APA, lanjutnya, merupakan bentuk komitmen antara otoritas dengan wajib pajak untuk saling transparan dalam urusan perpajakan khususnya untuk transaksi yang memiliki hubungan istimewa.
"Ke depan, APA bisa menjadi alat yang mumpuni untuk cooperative compliance," paparnya.
Senior Partner DDTC Danny Septriadi mengulas topik APA yang dikaitkan dengan kondisi adanya pandemi Covid-19. Menurutnya, kondisi saat ini akan sangat memengaruhi tingkat profitabilitas pelaku usaha dan berpotensi meleset dari kesepakatan terkait jumlah pembayaran dalam APA yang sudah dicapai.
“Kondisi pandemi saat ini bisa berdampak kepada penurunan profit hingga kerugian pelaku usaha. Jadi, kondisi extra ordinary ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan DJP,” ungkap Danny. (kaw)