BERITA PAJAK HARI INI

Dua Omnibus Law Tentukan Ekonomi 2020

Redaksi DDTCNews
Kamis, 26 Desember 2019 | 14.13 WIB
Dua Omnibus Law Tentukan Ekonomi 2020

JAKARTA, DDTCNews – Dua omnibus law, yaitu omnibus law cipta lapangan kerja dan omnibus law perpajakan, dinilai akan menjadi penentu laju pertumbuhan ekonomi 2020. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (26/12/2019).

Seperti diberitakan Kontan, melalui kedua RUU tersebut, pemerintah akan memperbaiki iklim investasi sekaligus meningkatkan kepercayaan investor terhadap Indonesia. Keduanya juga ditunggu oleh para pelaku usaha untuk bersiap menghadapi tahun depan.

Selain itu, beberapa media juga masih menyoroti perlakuan khusus untuk impor barang kiriman berupa sepatu, tas, dan tekstil dan produk tekstil terkait dengan kebijakan pembebasan bea masuk atau de minimis value. Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Risiko Gagal Bayar Meningkat

Risiko gagal bayar alias default di negara-negara Asia diperkirakan akan meningkat tahun depan sejalan dengan melambatnya perekonomian di kawasan tersebut. Negara yang dianggap paling berisiko mengalami gagal bayar adalah China dan India.

Sebagian investor memperkirakan China akan mengucurkan dana talangan lebih sedikit setelah mengabaikan gagal bayar yang dialami pedagang komoditas, Tewoo Group. Perusahan ini mengalami gagal bayar obligasi berdenominasi dolar AS dalam 2 dekade terakhir.

“Gagal bayar di China kemungkinan akan meningkat tahun depan, baik di pasar obligasi onshore maupun offshore. Risiko lain yang perlu diperhatikan adalah laju pertumbuhan perusahaan milik negara yang lemah,” kata Monica Hsiao, Kepala Investasi di Hedge Fund Triada Modal. (Bisnis Indonesia)

  • Perlakuan Khusus 3 Produk

Pemerintah memberikan perlakuan khusus untuk impor barang kiriman sepatu, tas, serta tekstil dan produk tekstil (TPT) terkait dengan kebijakan pembebasan bea masuk atau de minimis value. Ketentuan ini ada dalam PMK de minimis value yang akan diajukan ke Kemenkum-HAM.

Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan perlakuan khusus itu diterapkan untuk melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dengan demikian, pemerintah telah memberlakukan de minimis value sebesar US$3 untuk ketiga produk tersebut.

“Ketiganya juga dikenakan tarif normal, yaitu 15%-20% untuk tas, 25%-30% untuk sepatu, dan 15%-25% untuk TPT, serta PPN 10% dan PPh 7,5%-10%. Dengan demikian, aturan ini dapat dimanfaatkan untuk keperluan pribadi dan mendorong masyarakat memakai produk dalam negeri,” katanya. (Bisnis Indonesia)

  • Genjot Belanja Modal

Belanja modal seharusnya digenjot seiring dengan pembangunan infrastruktur yang masih menjadi prioritas pemerintah dalam 5 tahun mendatang. Meski demikian, belanja modal juga bergantung pada perbaikan iklim investasi di dalam negeri, antara lain proses lelang barang, pengadaan lahan, dan izin.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi belanja modal per November 2019 mencapai Rp119,5 triliun, atau hanya 63,1% dari target APBN 2019 senilai Rp189,3 triliun. Realisasi belanja modal itu lebih rendah 6,8% daripada realisasi periode yang sama tahun sebelumnya.

“Akibatnya, pertumbuhan investasi pemerintah atau pembentukan modal tetap bruto melambat dari 6,96% pada triwulan III/2018 menjadi 4,21% pada triwulan III/2019. Kontribusi investasi pemerintah terhadap PDB triwulan III mencapai 32,32%,” kata peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus. (Kompas)

  • Dua Omnibus Law

Capaian perekonomian Indonesia tahun ini yang biasa-biasa saja diprediksi kembali berulang tahun depan. Pemerintah harus memasang strategi jitu agar terhindar dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5%. Salah satu dari strategi tersebut adalah menggolkan dua undang-undang omnibus law.

Tiga tantangan besar Indonesia yang diidentifikasi menjadi momok ekonomi tahun depan adalah perekonomian global yang belum pulih, risiko inflasi akibat kenaikan harga barang yang diatur pemerintah seperti listrik dan tarif BPJS, serta geliat investasi yang lebih terbatas.

Untuk itu, pemerintah akan mengucurkan insentif fiskal seperti penurunan bunga Kredit Usaha Rakyat menjadi 6%, penyaluran bantuan sosial pada awal tahun, dan implementasi RUU omnibus law cipta lapangan kerja dan RUU omnibus law perpajakan, dan meningkatkan ekspor hortikultura.

“Indonesia perlu melihat kebijakan fiskal yang lebih konkret untuk mendorong konsumsi masyarakat tahun depan. Misalnya dengan memberi kelonggaran atau potongan pajak penghasilan,” kata Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah. (Kontan). (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.