JAKARTA, DDTCNews - Pemahaman publik mengenai latar belakang politik etis oleh kolonial Belanda masih terbatas soal 'balas budi atas sistem tanam paksa'.
Memang, frasa 'utang kehormatan' diucapkan oleh Ratu Wilhelmina dalam pidato Troonrede di hadapan parlemen pada 1901. Namun, spirit politik etis ternyata lebih luas dari sekadar membalas jasa penduduk pribumi atas tanam paksa.
Abdul Wahid dalam buku Politik Perpajakan Kolonial di Indonesia (2020) menyebutkan bahwa ketidakadilan terhadap rakyat melalui kebijakan fiskal turut melatari lahirnya politik etis. Pada akhir abadan ke-19, banyak politisi Belanda yang mulai menyadari bahwa sistem fiskal mereka, khususnya berupa sistem sewa pajak, sungguh tidak adil bagi rakyat.
Dorongan perubahan kebijakan, berupa reformasi pajak, berembus kencang menjelang akhir 1800-an, hingga akhirnya muncul politik etis. Dalam bukunya, Abdul menyebutkan bahwa keinginan pejabat kolonial untuk melakukan reformasi pajak turut mempercepat lahirnya konsep politik etis.
Dalam praktiknya, kita tahu bahwa politik etis menyasar 3 hal: irigasi, emigrasi, dan edukasi bagi penduduk pribumi. Namun, ada satu kebijakan yang jarang disebutkan dalam buku teks pelajaran sejarah, yakni perubahan kebijakan pajak.
Menjelang akhir abad ke-19, pemerintah kolonial secara bertahap mulai menghapuskan sistem sewa pajak. Berdekade lamanya, pemerintah kolonial menjalankan sistem sewa pajak atau pachtstelsel sebagai salah satu sumber penerimaan di tanah jajahan.
Melalui cara tersebut, pemerintah kolonial memberikan wewenang bagi orang non-Belanda, dalam hal ini penduduk Tionghoa, untuk memungut pajak dari penduduk lokal. Sejak 1810, ada lebih dari 25 jenis kegiatan ekonomi yang lisensi pemungutan pajaknya disewakan oleh pemerintah kolonial.
Cara itu jelas memungkinkan pemungutan pajak dilakukan secara serampangan, hanya berorientasi terhadap keuntungan pelaksana sewa pajak. Hal ini pun turut membuka mata kumpeni bahwa sistem sewa pajak justru memberikan keuntungan besar kepada saudagar China, yang pada akhirnya mengancam kewibawaan pemerintah kolonial.
Berangkat dari situ, pemerintah Belanda menyusun sebuah kajian yang mencoba memotret dampak dari pelaksanaan sistem sewa pajak. Selain menguntungkan segelintir kelompok saja, sewa pajak disebut menyengserakan rakyat.
Pada akhirnya, mulai pengujung 1800-an, pemerintah kolonial mulai mengubah sistem sewa pajak, yakni pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga, menjadi sistem pemungutan pajak terpusat oleh negara. Pemungutan pajak atas minuman keras, sarang burung walet, hingga peredaran tembakau dan ikan mulai dijalankan oleh petugas-petugas dari pemerintah Hindia Belanda secara terpusat.
Perubahan kebijakan ini, yang dikenal sebagai salah satu bentuk reformasi pajak paling awal di Nusantara, tentu berdampak terhadap warga keturunan Tionghoa. Mereka yang selama ini banyak berkuasa atas pemungutan pajak 'lokal' alias sewa pajak, kemudian kehilangan wewenang tersebut.
Buku Politik Perpajakan Kolonial di Indonesia juga memotret betapa reformasi pajak yang berjalan di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 membuat banyak saudagar China bangkrut. Mulai saat itu, warga keturunan Tionghoa pun menjadi subjek pajak layaknya rakyat biasa lainnya di Nusantara.
Reformasi pajak yang dijalankan pemerintahan kolonial pada masa lalu sontak mengubah Indonesia menjadi negara fiskal modern. Perlahan, ketidakadilan dalam sistem pajak mulai dihapuskan. Meski masih banyak celah di sana-sini, mekanisme pemungutan pajak mulai memperhatikan aspek keadilan.
Peristiwa pada masa lalu itu bisa menjadi bahan pembelajaran masa kini. Masyarakat modern pasca-milenium juga mengenal reformasi pajak yang kini masih bergulir. Pemerintah punya pekerjaan rumah untuk memastikan tujuan besar reformasi pajak tercapai, yakni sistem pajak yang adil.
Politik etis, yang kejadiannya sudah terlewat lebih dari 120 tahun lalu, punya tujuan 'membalas budi' kepada rakyat. Seyogianya, pemerintah saat ini tetap melanjutkan spirit dari gerakan tersebut: 'membalas budi' kepada rakyat atas pajak-pajak yang dibayar melalui pembangunan yang benar-benar berorientasi pada kesejahteraan. (sap)
