SURABAYA, DDTCNews - Dilantiknya Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan implikasi besar terhadap penerapan solusi 2 pilar, yakni Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Setelah dilantik, Trump menerbitkan memorandum yang menyatakan bahwa global tax deal tidak berlaku bagi AS. Keputusan ini ditetapkan Trump guna memulihkan kedaulatan AS serta daya saing perekonomian AS.
"Mengapa kita harus mengkhawatirkan sikap AS? Hal ini karena AS memiliki de facto hegemonic position dalam lanskap perpajakan internasional," kata Director of DDTC Fiscal Research and Advisory B. Bawono Kristiaji dalam 12th International Tax Conference yang digelar oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Kamis (28/8/2025).
Alhasil, keputusan yang diambil oleh AS cenderung diikuti oleh yurisdiksi lain serta organisasi internasional. Contoh, automatic exchange of information (AEOI) yang dikembangkan oleh OECD adalah bentuk adopsi dari Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang terlebih dahulu diterapkan AS.
Metode penentuan harga transfer yang kerap diterapkan oleh perusahaan multinasional di berbagai yurisdiksi, yakni transactional net margin method (TNMM), juga diadopsi dari comparable profit method yang sudah lebih dahulu dikembangkan dan diterapkan oleh AS.
Berkaca pada pengalaman tersebut, sikap AS relevan untuk dipertimbangkan guna menilik arah perkembangan Amount A Pilar 1, Amount B Pilar 1, dan Pilar 2 ke depan.
Terkait dengan Amount A Pilar 1, Bawono menjelaskan inisiatif tersebut cenderung tidak mungkin untuk diimplementasikan mengingat AS menolak untuk meratifikasi multilateral convention (MLC) atas Amount A Pilar 1.
Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, MLC baru berlaku jika sudah diratifikasi oleh 30 negara anggota Inclusive Framework yang merepresentasikan 60% dari grup perusahaan multinasional tercakup.
Masalahnya, AS merupakan yurisdiksi yang merepresentasikan mayoritas grup perusahaan multinasional yang tercakup Amount A Pilar 1, yakni grup perusahaan multinasional dengan omzet global di atas €20 miliar dan profitabilitas di atas 10%.
Bila diterapkan, yurisdiksi pasar berhak memperoleh hak pemajakan sebesar 25% dari residual profit yang diterima grup perusahaan multinasional tercakup.
"Posisi AS sangat krusial. Sejak terbitnya executive order, tampak Amount A Pilar 1 tidak siap untuk diterapkan," ujar Bawono.
Menurut Bawono, terdapat solusi bilateral atau unilateral yang bisa dipertimbangkan oleh yurisdiksi-yurisdiksi, termasuk Indonesia, guna merespons batalnya implementasi Amount A Pilar 1.
Solusi bilateral yang dimaksud ialah penerapan withholding tax sesuai dengan kerangka yang dikembangkan oleh UN Tax Convention. Adapun solusi unilateral yang bisa diterapkan oleh yurisdiksi adalah digital service tax (DST).
"Amount A Pilar 1 mensyaratkan pencabutan DST atau kebijakan yang sejenis. Logikanya, kalau Amount A Pilar 1 tak jadi diterapkan di masa mendatang, DST boleh diterapkan atau diperkenalkan kembali oleh yurisdiksi," tutur Bawono.
Terkait dengan Amount B Pilar 1, Indonesia termasuk low and middle income jurisdiction yang bisa menyederhanakan ketentuan transfer pricing-nya dengan mengadopsi Amount B Pilar 1.
Langkah Trump yang mencabut komitmen AS atas solusi 2 pilar menimbulkan ketidakpastian terhadap implementasi Amount B Pilar 1. Sebab, penetapan harga berdasarkan Amount B Pilar 1 tidaklah mengikat bagi negara lawan transaksi.
Namun demikian, negara-negara Inclusive Framework telah bersepakat untuk menghormati hasil dari penerapan Amount B Pilar 1.
"AS masih merupakan anggota Inclusive Framework, sehingga kita harap AS masih menghormati marketing and distribution safe harbour dalam Amount B Pilar 1," kata Bawono.
Bawono pun mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengadopsi Amount B Pilar 1 dengan merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 172/2023 demi menciptakan kesederhanaan bagi wajib pajak.
"Indonesia perlu mengadopsi Amount B Pilar 1 ke dalam rezim transfer pricing," ujar Bawono.
Terkait dengan pemajakan minimum global sebagaimana yang termuat dalam Pilar 2, negara-negara G-7 baru-baru ini menyepakati side-by-side system yang memungkinkan koeksistensi antara GloBE rules dan global intangible low taxed income (GILTI) dalam sistem perpajakan internasional.
Dengan kesepakatan tersebut, negara-negara G-7 memutuskan untuk mengecualikan grup perusahaan AS dari pemberlakuan income inclusion rule (IIR) dan undertaxed payment rule (UTPR).
Bawono menilai kesepakatan G-7 menimbulkan ketidakpastian atas penerapan pajak minimum global di berbagai yurisdiksi termasuk Indonesia.
Meski demikian, dia berpandangan pekerjaan rumah dari implementasi pajak minimum global di Indonesia ialah peningkatan kapasitas bagi wajib pajak tercakup dan otoritas pajak.
"Peningkatan kapasitas bagi wajib pajak, konsultan pajak, dan otoritas pajak diperlukan untuk menciptakan penerapan pajak minimum global yang efektif pada masa yang akan datang," ujar Bawono. (rig)