Dari kiri ke kanan: Guru Besar Bidang Hukum Politik Perpajakan Nasional Universitas Islam Sultan Agung Edi Slamet Irianto, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, Chairman ISNU Forum Hery Haryanto Azumi, Founder DDTC Darussalam dalam ISNU Forum of Investment, Trade and Global Affairs dengan tema 'Urgensi Badan Penerimaan Negara di Tengah Krisis dan Defisit APBN', Rabu (11/6/2025).
JAKARTA, DDTCNews - Diskusi mengenai pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN), sebagai unit yang terpisah dari Kementerian Keuangan, terus berlanjut. Namun, topik pembahasannya kini bukan lagi sekadar soal perlu atau tidaknya BPN dibentuk, tetapi mengarah kepada 'Apa-apa saja pekerjaan rumah setelahnya?'
Founder DDTC Darussalam memberikan catatan menarik mengenai diskursus pembentukan Badan Penerimaan Negara. Menurutnya, reformasi kelembagaan di dalam tubuh Kementerian Keuangan bisa menjadi solusi atas berbagai tantangan fiskal yang dihadapi Indonesia, terutama stagnannya tax ratio dalam satu dekade terakhir.
"Selama ini, upaya reformasi dari sisi regulasi dan administrasi sudah dilakukan. Yang belum adalah reformasi dari sisi kelembagaan," kata Darussalam dalam ISNU Forum of Investment, Trade and Global Affairs dengan tema 'Urgensi Badan Penerimaan Negara di Tengah Krisis dan Defisit APBN', Rabu (11/6/2025).
Namun, Darussalam mengungkapkan ada dua konsekuensi penting yang perlu ditindaklanjuti pemerintah apabila BPN resmi didirikan nantinya.
Pertama, perlu ada tax ombudsman yang independen dengan posisi yang setara dengan BPN. Kedua, perlu dibangun tax policy unit atau unit kebijakan perpajakan yang terpisah dari BPN.
Tax ombudsman yang independen, lanjut Darussalam, diperlukan untuk memastikan hak-hak wajib pajak bisa dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
Selama ini di Indonesia, fungsi tax ombudsman dijalankan oleh Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak). Dengan dibentuknya BPN nanti, perlu ada pembahasan mendalam untuk turut 'menaikkan level' Komwasjak menjadi selevel dengan BPN.
"Ketika DJP dinaikkan jadi lembaga yang setara Kemenkeu, tidak bisa selesai di situ saja. Harus dilihat lembaga lain yang mengawasi BPN dan berjalannya pemungutan pajak, yakni Komite Pengawas Perpajakan. Artinya ketika DJP naik jadi BPN, Komwasjak juga harus naik kelas," kata Darussalam.
Keberadaan Komwasjak yang independen, imbuh Darussalam, mutlak perlu untuk memastikan wajib pajak dilindungi dan bisa memperoleh hak-haknya.
Mengacu pada best practices secara internasional, sesuai dengan data IBFD, sebanyak 25 dari 42 negara yang disurvei memiliki wujud Tax Ombudsman yang setara dengan badan pengelola penerimaan pajak. Hal ini perlu menjadi acuan bagi Indonesia ketika mendirikan BPN nantinya.
Selanjutnya, Darussalam menambahkan, tax policy unit juga perlu didesain terpisah dari BPN. Hal ini bertujuan membatasi kekuasaan atas BPN dan mengindari kebijakan yang memunculkan beban administrasi pajak yang berlebihan.
"Dibentuknya satu unit penyusun kebijakan yang terpisah dari BPN juga membangun mekanisme check and balance. Agar BPN tidak mengerjakan semuanya, dari sisi kebijakan hingga eksekusi. Dari teori pemisahan kekuasaan, mestinya pembuatan kebijakan dan eksekusi mestinya berbeda," kata Darussalam.
Tax policy unit yang terpisah dari BPN, Darussalam melanjutkan, diharapkan menjadi insititusi yang kompeten dan bertanggung jawab terhadap perancangan sistem perpajakan, analisis kebijakan perpajakan, harmonisasi dan penulisan rancangan undang-undang pajak, serta transparansi fiskal.
Meski terpisah dari BPN, tax policy unit ini, sebaiknya tetap berada di bawah atap Kementerian Keuangan. Darussalam memandang tax policy unit seyogianya menjadi unit yang menjembatani antara kebijakan makrofiskal dan administrasi perpajakan.
Selain Darussalam, diskusi yang digelar oleh ISNU ini juga menghadirkan sejumlah pembicara kompeten seperti Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun dan Guru Besar Bidang Hukum Politik Perpajakan Nasional Universitas Islam Sultan Agung Edi Slamet Irianto. (sap)