DALAM sistem pajak pertambahan nilai (PPN), pengusaha kena pajak (PKP) memiliki hak untuk mengkreditkan pajak masukan yang dibayar atas perolehan barang dan jasa. Prinsip yang mendasari adanya hak untuk mengkreditkan pajak masukan adalah prinsip netralitas.
Namun, pada praktiknya, prinsip netralitas terkait dengan hak pengkreditan pajak masukan tersebut tidak diterapkan sepenuhnya. Hampir seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan PPN di banyak negara secara jelas memuat aturan pembatasan hak pengkreditan pajak masukan.
Pertanyaannya, pajak masukan apa saja yang dapat dikreditkan? Ulasan tentang hal ini turut dimuat dalam buku Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai Edisi Kedua yang telah diterbitkan oleh DDTC. Buku ini memulai ulasan dengan melihat VAT Directive.
Dalam VAT Directive dijelaskan bahwa sepanjang barang atau jasa yang diperoleh PKP dimanfaatkan untuk tujuan penyerahan yang dikenai PPN, PKP tersebut berhak untuk mengkreditkan pajak masukan di negara tempat transaksi penyerahan terjadi.
Masih dalam VAT Directive, pajak masukan yang dapat dikreditkan terhadap pajak keluaran antara lain:
PKP berhak mengkreditkan pajak masukan sepanjang barang atau jasa yang dibelinya tersebut:
Dalam konteks Indonesia, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 UU PPN, terdapat 3 prinsip dasar pengkreditan pajak masukan. Pertama, pajak masukan dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa pajak yang sama.
Kedua, pajak masukan sebelum PKP berproduksi dapat dikreditkan meskipun belum terjadi penyeragan yang terutang PPN oleh PKP. Ketiga, pajak masukan dapat dikreditkan jika perolehannya berkaitan langsung dengan kegiatan usaha yang melakukan penyerahan terutang PPN.
Ingin memahami lebih dalam soal pengkreditan pajak masukan, syarat-syaratnya, hingga studi komparatif dengan negara lain? Selengkapnya dapat Anda temukan dalam buku terbitan DDTC berjudul Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai Edisi Kedua.