KEBIJAKAN PAJAK

Model Bisnis Digital Kian Kompleks, Bagaimana Peluang Pemajakannya?

Redaksi DDTCNews
Jumat, 23 Mei 2025 | 17.45 WIB
Model Bisnis Digital Kian Kompleks, Bagaimana Peluang Pemajakannya?

Manager of DDTC Fiscal Research & Advisory Denny Vissaro dalam international webinar 3in1 Taxation Study Program Universitas Brawijaya, Jumat (23/5/2025). 

MALANG, DDTCNews - Kebijakan pajak atas ekonomi digital menjadi tantangan bagi seluruh negara dunia. Tantangan pemajakan atas ekonomi digital pada akhirnya bermuara pada 3 hal. 

Pertama, peluang hadirnya entitas ekonomi di suatu negara tanpa kehadiran fisik. Kedua, alokasi hak pemajakan yang rumit antarnegara. Ketiga, keterbatasan regulasi dan infrastruktur administrasi dalam pelaksanaan pemungutan dan pembayaran pajak atas ekonomi digital. 

"Kombinasi ketiganya timbul dengan porsi yang berbeda tergantung model bisnis yang dibangun. Melalui digitalisasi, terdapat berbagai bentuk model bisnis yang bisa dibangun," ujar Manager of DDTC Fiscal Research & Advisory Denny Vissaro dalam international webinar 3in1 Taxation Study Program Universitas Brawijaya, Jumat (23/5/2025). 

Dalam melihat praktik digitalisasi terhadap ekonomi, setidaknya ada 3 aspek yang bisa dilihat, yakni produk itu sendiri, mekanisme pembayaran/transaksi, atau platformnya. Dari ketiganya kita bisa memastikan apakah digitalisasi dilakukan terhadap produk, pembayaran, platform, atau malah kombinasi dari ketiganya. 

"Digitalisasi terhadap produk dan model pembayaran itu mekanisme pemajakannya sudah berbeda. Itulah kenapa kita perlu membedah terlebih dulu model bisnisnya seperti apa? Karema, ketentuan pemajakannya bisa berbeda," kata Denny. 

Sebagai jawaban atas tantangan pemajakan digital serta isu pajak global lainnya, yurisdiksi-yurisdiksi di dunia lantas mendorong adanya konsensus pajak internasional yang berbuah menjadi Pilar 1 dan Pilar 2.

Sebagai gambaran, Pilar 1 bertujuan untuk meredistribusi hak pemajakan yang lebih adil bagi negara-negara pasar. Sementara Pilar 2, yang mencakup Global Anti Base Erotion (GloBE), menjadi solusi untuk mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak melalui penerapan tarif minimum PPh badan secara global.

Pada prinsipnya, Two-Pillar Solution atau Solusi 2 Pilar akan memberikan stabilitas dalam sistem pajak internasional. Ketentuan dalam Pilar 2 sendiri dirancang untuk memastikan perusahaan multinasional (PMN) besar membayar pajak pada tingkat minimum di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi. 

Sesuai ketentuan, pajak minimum global berlaku terhadap grup PMN yang beromzet konsolidasi global minimal senilai EUR750 juta. Adapun tarif pajak efektif minimum yang disepakati dalam konsensus global adalah sebesar 15%.

"Nah dari sisi kebijakan itulah, Solusi 2 Pilar OECD menjadi opsi pemajakan era digital sebagai kesepakatan global," kata Denny. 

Kendati begitu, Solusi 2 Pilar perlu diantisipasi oleh wajib pajak, terutama terkait dengan tata kelola kepatuhan dan interaksi antarperusahaan dalam 1 grup. Mitigasi tersebut diperlukan untuk menentukan sejauh mana perusahaan bisa memenuhi ketentuan terkait Solusi 2 Pilar tadi. 

Di sisi lain, implementasi pajak minimum global menimbulkan pertanyaan terkait dengan efektivitas insentif pajak yang selama ini telah diberikan oleh banyak yurisdiksi. Dalam konteks Indonesia, Denny melanjutkan, pajak minimum global sebenarnya tidak serta merta menggerus daya saing Indonesia. 

Justru, pemerintah perlu menyusun sebuah arsitektur insentif bagi bagi wajib pajak yang dirasa sesuai dengan ketentuan pajak minimum global. Secara komparatif, hingga saat ini pun tidak tercatat indikasi pembatalan tawaran insentif pajak di mayoritas negara di dunia.

Pemerintah, imbuhnya, kini punya urgensi untuk memitigasi dampak pajak minimum global terhadap iklim investasi di Indonesia. Alih-alih menghapus berbagai insentif pajak yang sudah ada, seperti tax holiday, pemerintah justru perlu mengevaluasi kebijakan insentif pajak yang saat ini berlaku.

Catatan pentingnya, insentif pajak dan pajak minimum global tidak serta merta harus diartikan sebagai dua hal yang saling berlawanan. Pemerintah tetap perlu menjamin keseimbangan antara daya dorong investasi bagi perekonomian serta daya dukung penerimaan bagi kesehatan fiskal. 

"Insentif pajak masih menarik, tantangannya tidak hanya bergantung pada manfaat penghematan pajak, tetapi juga kesederhanaan dan kepastiannya. Secara ekonomi-politik, insentif ini perlu dipertahankan untuk menjaga iklim investasi," kata Denny. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.