DALAM bidang perpajakan dan keuangan negara, orang cenderung memahami kata 'penerimaan' secara terbatas sebagai besarnya uang yang diterima oleh negara. Padahal sejatinya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nomina 'penerimaan' memiliki 5 pengertian. Bahkan, pengertian yang berkaitan dengan uang ada di urutan terakhir.
Secara berurutan, kata penerimaan juga bermakna (1) proses, cara, perbuatan menerima; (2) sambutan; (3) perlakuan atau sikap; dan (4) anggapan atau pendapat.
Orang-orang yang berkecimpung dalam dunia perpajakan, pabean, dan pengelolaan anggaran negara kemungkinan besar tidak terlalu familier dengan 4 makna lain dari kata 'penerimaan' tersebut.
Makin ke sini, perspektif uang dari kata penerimaan beredar sebagai diskursus dominan bagi publik. Bahkan, pengertian penerimaan seperti itulah yang diajarkan melalui ilmu ekonomi dan keuangan.
Sebagai konsekuensi, misalnya, petugas pajak yang dididik, dilatih, dan dituntut untuk bekerja mengumpulkan penerimaan (versi uang) terkungkung dalam pengertian moneter penerimaan. Sementara 'penerimaan' dalam arti nonmoneter nyaris hilang dari kosa kata mereka.
Tesis utama tulisan ini hendak mengingatkan bahwa pengertian 'bukan uang' (non-pecuniary) dari kata 'penerimaan' memiliki peranan sangat krusial dalam mengusahakan penerimaan berbentuk uang.
Untuk memudahkan pembedaan, kata 'penerimaan' yang bermakna bukan uang akan ditulis dalam tanda petik. Pembaca juga bisa memadankan kata 'penerimaan' dengan acceptance dalam bahasa Inggris dan kata penerimaan (uang) dengan revenue.
Dalam dunia perpajakan modern, 'penerimaan' (acceptance) merupakan syarat yang harus ada untuk mengumpulkan penerimaan (revenue). Bisa dikatakan bahwa 'penerimaan' adalah sine quo non, kondisi esensial, atau hal yang harus ada karena sangat mutlak diperlukan.
'Penerimaan' bukan hanya sebagai syarat pengumpulan penerimaan, tetapi –lebih tepatnya– prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum penerimaan pajak mulai dipungut.
Kesadaran akan pentingnya 'penerimaan' dalam pengumpulan penerimaan semakin relevan di era demokrasi terbuka dewasa ini. Negara-negara yang bertransformasi menjadi negara demokrasi mengalami penurunan kemampuan memaksa (coercive power) yang berimplikasi pada kinerja perpajakan.
Seperti dinarasikan oleh D’Arcy (2012), perkembangan demokrasi di negara berkembang menyebabkan berkurangnya kekuatan pemerintah dalam menghimpun pajak, terutama dengan mengandalkan cara-cara koersif.
Dalam proses demokratisasi, penguatan masyarakat sipil berpadu dengan kemajuan teknologi menuntut pendekatan pemajakan yang mengedepankan pendekatan yang lebih elegan.
Karenan kehilangan kemampuan koersif menarik pajak, pemerintah –melalui otoritas pajak– berusaha menempuh pendekatan yang lebih lunak, seperti pendekatan pelayanan (service and education), keadilan (equity and fairness), dan pengandalan self-assessment system.
Beberapa negara yang masih terjebak dengan nostalgia pola koersif menggeser pendekatan ke arah rekayasa perilaku kepatuhan masyarakat. Maka tumbuhlah rezim kepatuhan yang bersandar kepada pemahaman bahwa penerimaan pajak bisa digenjot melalui eksploitasi kepatuhan.
Dalam situasi itu, aparat pajak dikerahkan untuk mengawasi pembayar pajak dengan harapan menumbuhkan kepatuhan sekaligus ‘menggali potensi pajak’ demi target penerimaan (revenue).
Kepatuhan 'wajib pajak’ dilihat sebagai proksi dan determinan penerimaan sehingga otoritas pajak mengarahkan perhatian dan segenap sumber daya untuk meningkatkan kepatuhan pajak dengan berbagai cara. Ketika target penerimaan tidak tercapai atau rasio pajak rendah, hal itu diatribusi sebagai akibat ketidakpatuhan pembayar pajak, rakyat.
Strategi mengikhtiarkan 'penerimaan' menjadi alternatif dari strategi kepatuhan yang menghegemoni. Berbeda dengan paradigma kepatuhan yang fokus kepada wajib pajak (tanpa narasi dan usaha untuk meningkatkan kepatuhan pihak penarik pajak), paradigma 'penerimaan' meminta penguasa untuk juga berintrospeksi diri.
Proses pemajakan mestinya tidak berlangsung linear satu arah, melainkan dua arah dan resiprokal. Sebelum mengupayakan kepatuhan pembayar pajak, pihak penarik pajak harus terlebih dahulu memperbaiki tingkat kepatuhannya sendiri.
Penguasa perlu mengupayakan dan membuktikan kepatuhannya kepada konstitusi, ketaatan kepada undang-undang, dan komitmen kepada janji-janji politik yang dijual ketika menggaet suara rakyat.
Dan yang terpenting, pemerintah perlu patuh kepada janji realisasi penyediaan manfaat pajak yang dibayar rakyat. Dengan kata lain, paradigma 'penerimaan' melihat upaya kepatuhan secara adil (fair) ke 2 arah: rakyat akan patuh membayar pajak, tetapi pemerintah penarik pajak juga harus patuh terlebih dahulu.
Singkatnya, strategi 'penerimaan' menghendaki dibangunnya 'penerimaan' (acceptance) terlebih dahulu baru bisa mengharapkan penerimaan (revenue).
Ikhtiar membangun 'penerimaan' dapat dilakukan di tiga level. Pertama, 'penerimaan' akan negara, bahwa rakyat bersedia membayar pajak karena menerima kehadiran negara.
Alasan pendirian negara dan cita-citanya lazim dimuat dalam konstitusi, baik tertulis maupun tidak, sekaligus menjadi kontrak sosial dan alasan pembenar penarikan pajak. 'Penerimaan' akan negara menghendaki agar negara hadir dengan menyatakan manfaat pajak benar-benar dirasakan rakyat pembayar pajak.
Kata lain yang dekat dan membantu mengartikulasi makna 'penerimaan' di sini adalah 'akseptasi', yang dalam KBBI bermakna penerimaan atau pembenaran.
Penting bagi negara membangun kapasitas (state capacity) sebagai penentu kapasitas pajaknya (tax capacity). Jika negara gagal membangun akseptasi, alih-alih memperkuat kontrak sosial, rakyat malah memilih untuk benar-benar berada di luar sistem perpajakan, yang ditunjukkan oleh bolongnya jejaring pajak (tax net) (D’Arcy 2012:7).
Kedua, 'penerimaan' akan pemerintah, yaitu penguasa pemegang kedaulatan rakyat atau pemenang pemilu. 'Penerimaan' ini bisa dibangun dengan menumbuhkan dan merawat kepercayaan publik kepada pemerintah.
Sekalipun negara belum sanggup menyediakan manfaat-manfaat yang menjadi alasan pemungutan pajak (karena butuh waktu dan proses), tetapi jika aparat dan perangkat pemerintah dapat dipercaya (trustworthy), rakyat bersedia membayar harganya.
Negara-negara demokratis maju sudah lama menempuh jalan ini dengan sengaja mengalokasikan sumber daya untuk menumbuhkan 'penerimaan' akan pemerintahnya. Mereka percaya rakyat yang 'menerima' pemerintahnya akan memiliki moral pajak yang tinggi untuk berkontribusi pada penerimaan (uang) dan rasio pajak.
Ketiga, 'penerimaan' akan otoritas pajak. Sekalipun mendapatkan wewenang legal menarik pajak, otoritas pajak tidak serta-merta 'diterima' masyarakat.
Untuk menjalankan kewenangan secara efektif, otoritas pajak perlu membangun 'penerimaan' dan legitimasi akan dirinya melalui berbagai strategi, misalnya penyelenggaraan administrasi yang lebih berorientasi pelayanan, asistensi, dan edukasi.
Otoritas pajak yang terbukti berkinerja prima dengan rasio pajak tinggi pantang mematok target realisasi penerimaan (angka) lantaran lebih fokus mengupayakan 'penerimaan' dirinya. Mereka sadar, 'penerimaan' oleh masyarakat merupakan bagian dari perwujudan kontraprestrasi pajak.
Sekalipun 'penerimaan' perlu dibangun di berbagai level, otoritas pajak memainkan peranan sentral sehubungan dengan misi utamanya mengumpulkan penerimaan atas nama pemerintah dan negara. Strategi yang ditempuh otoritas pajak bisa memengaruhi 'penerimaan' akan negara dan pemerintah, walaupun arah sebaliknya juga berlaku.
Suatu otoritas pajak yang menerapkan strategi 'penerimaan' untuk meningkatkan penerimaan pajak perlu berpikir kreatif dan inovatif alias terbuka untuk ide dan pendekatan baru.
Meminjam Innovation Ambition Matrix dari Nagji dan Tuff (2012), otoritas pajak bisa mengelola portofolio inovasi secara berimbang dan proporsional dalam 3 area: Core, Adjacent, dan Transformational.
Wilayah Core meliputi urusan penerimaan dan operasi rutin, sementara wilayah Adjacent dan Transformational berisi upaya inovatif meningkatkan praktik yang sudah ada dan memperkenalkan sesuatu yang belum ada.
Penerimaan uang berada di wilayah Core karena memang itulah mandat utama otoritas pajak di negara manapun. Beragam aktivitas operasi penerimaan berlangsung di zona merah ini, mulai dari pengawasan, pemeriksaan hingga penegakan hukum.
Dalam upaya memaksimalkan penerimaan (angka) ini, otoritas pajak perlu menempuh upaya inovatif di zona Adjacent dan Transformational. Dengan merujuk ke makna 'penerimaan' dalam KBBI tadi, definisi 'penerimaan' sebagai (1) proses, cara, perbuatan menerima bisa disetarakan dengan rekayasa proses bisnis atau tata kelola yang memudahkan pembayaran pajak.
Sudah menjadi tren di banyak negara, transformasi proses bisnis digalakkan, terutama dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan digital. Inovasi semacam ini berada di wilayah Adjacent karena, mengikuti Nagji dan Tuff (2012), usaha transformasi proses bisnis dan adopsi teknologi pada hakikatnya menyasar peningkatan kinerja dengan cara meng-upgrade praktik-praktik yang sudah berjalan sebelumnya.
Demikian pula dengan pengertian kedua 'penerimaan' sebagai (2) sambutan, yang bisa disamakan maknanya dengan pelayanan (service) atau penyambutan (welcoming) kepada pembayar pajak.
Perhatian dan sumber daya patut dialokasikan ke zona biru, wilayah Transformational yang menurut Nagji dan Tuff (2012) merupakan area inovasi terobosan atas hal-hal baru, yang sebelumnya tidak ada. Pengertian ketiga dan keempat kata 'penerimaan' berada di blue zone ini.
Makna 'penerimaan' sebagai (3) perlakuan, sikap, dan (4) anggapan bisa ditafsirkan sebagai treatment yang manusiawi dan upaya membangun persepsi (mindset) akan otoritas pajak yang terpercaya (trusted).
Sebagian besar inovasi transformasional ini memerlukan komitmen pemerintah untuk menerapkan kebijakan pajak yang mengusung azas keadilan (equity, fairness, redistributive).
Pada akhirnya, konsep 'penerimaan' menjadi elemen penting dalam menyusun rencana strategis, bahkan layak menjadi misi yang diperjuangkan dalam jangka panjang.
Negara-negara yang ingin meningkatkan rasio pajaknya secara signifikan seyogianya mulai memikirkan investasi dan alokasi sumber daya untuk inovasi di wilayah Tranformational. Eksplorasi inovasi wilayah biru dengan maksud membangun 'penerimaan' bisa menciptakan kondisi kondusif bagi ekspansi zona merah inti: angka penerimaan dan rasio pajak. (sap)