Managing Partner of DDTC Consulting David Hamzah Damian dalam DDTC Exclusive Gathering: Addressing Tax Challenges, Optimizing Business in 2025, Rabu (26/2/2025).
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak dinilai perlu mengantisipasi dampak penerbitan PMK 15/2025 yang akan membuat pemeriksaan pajak terasa lebih kompleks.
Managing Partner of DDTC Consulting David Hamzah Damian mengatakan perubahan ketentuan pemeriksaan pajak dalam PMK 15/2025 terutama mengenai jangka waktu, proses bisnis, dan hukum pembuktian. Menurutnya, wajib pajak perlu lebih jeli untuk memperhatikan implikasi dari penerapan PMK 15/2025 lantaran peraturan ini bersifat sapu jagat atau omnibus law.
"Semenjak mengenal konsep omnibus law, kita harus memberikan assessment sendiri terhadap peraturan pelaksanaan dari peraturan sebelumnya mana yang bertentangan atau tidak bertentangan. Karena jika tidak bertentangan, peraturan itu masih akan berlaku," katanya dalam DDTC Exclusive Gathering: Addressing Tax Challenges, Optimizing Business in 2025, Rabu (26/2/2025).
David mengatakan wajib pajak antara lain perlu mengantisipasi perubahan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP) dan pelaporannya dalam PMK 15/2025. Jangka waktu PAHP dan pelaporannya kini dipangkas dari maksimal 2 bulan menjadi maksimal 30 hari sejak tanggal Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
PAHP merupakan tahap pembahasan antara wajib pajak dan pemeriksa pajak atas temuan pemeriksaan, yang hasilnya kemudian dituangkan dalam berita acara PAHP berisi koreksi pokok pajak terutang dan perhitungan sanksi dan/atau denda administratif.
Kemudian, dalam PMK 15/2025 juga diatur wajib pajak kini hanya diberikan waktu untuk menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP maksimal selama 5 hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP. Jangka waktu ini lebih singkat dibandingkan dengan ketentuan terdahulu, yakni maksimal 7 hari kerja.
Selain itu, PMK 15/2025 turut memuat ketentuan pembahasan temuan sementara, yang selama ini dikenal sebagai pra-SPHP. Pembahasan temuan sementara merupakan pembahasan antara wajib pajak dan pemeriksa atas temuan sementara pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara untuk memberikan keyakinan bahwa temuan telah didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pembahasan temuan sementara dilakukan paling lambat 1 bulan sebelum jangka waktu pengujian berakhir. Pembahasan dilakukan lewat penyampaian panggilan pembahasan temuan sementara kepada wajib pajak.
Dalam pelaksanaan pembahasan temuan sementara, wajib pajak berkesempatan untuk memberikan ataupun memperlihatkan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lainnya.
"Dari sini terlihat proses bisnis terkait pemeriksaan dan jangka waktunya berubah secara signifikan," ujarnya.
Apabila ditilik historisnya, David menilai penerbitan PMK 15/2025 tidak terlepas dari beberapa isu, yakni dipertahankannya tarif efektif PPN sebesar 11%, penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 2/2024, serta penerapan coretax administration system. Kebijakan menjaga tarif efektif PPN sebesar 11% untuk sebagian besar barang dan jasa berpotensi menyebabkan penerimaan pajak tidak sebesar perkiraan awal.
Sebab, APBN 2025 telanjur disusun dengan asumsi tarif PPN sebesar 12% berlaku secara umum, yang diestimasi mampu mendatangkan tambahan penerimaan senilai Rp75 triliun.
Mengenai SEMA 2/2024, ketua MA antara lain membuat penegasan mengenai pembatasan diterimanya alat bukti dalam banding dan peninjauan kembali. Apabila wajib pajak tidak menyampaikan alat bukti yang diminta dalam pemeriksaan pajak atau keberatan, maka alat bukti tersebut tidak dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan pajak atau Mahkamah Agung.
Selain itu, SEMA 2/2024 juga menekankan jenis keputusan administrasi yang dapat dibanding atau digugat. Keputusan yang termasuk dalam ruang lingkup Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP, diselesaikan melalui proses banding.
Sementara untuk persoalan lain, seperti tantangan yang terkait dengan kewenangan, prosedur, atau pelaksanaan keputusan perpajakan, dapat diselesaikan melalui gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2c) dan Pasal 36 ayat (1b) UU KUP.
Adapun soal penerapan coretax system, sistem baru ini akan memproduksi banyak data konkret yang dapat digunakan otoritas untuk memeriksa wajib pajak. Data konkret yang antara lain berupa rekening bank dan faktur pajak tersebut akan membantu otoritas menguji kepatuhan wajib pajak.
"Perubahan-perubahan yang signifikan [dalam PMK 15/2025] patut diduga untuk memastikan sinkronisasi dengan coretax," imbuhnya. (sap)